FH-UAD Menjadi Tuan Rumah Musyawarah Nasional V Himpunan Komunitas Peradilan Semu Indonesia (MUNAS V HKPSI)
/in Artikel /by lawuadFakultas Hukum UAD Terpilih Menjadi KORWIL Tengah HKPSI
/in Artikel /by lawuadArmawan Tercepat Periode Ini
/in Artikel /by lawuadStabilitas Politik dalam Tekanan Ekonomi Indonesia Tahun 2017
/in Artikel /by lawuad<p>Oleh: Hendra Aditya*</p>
<p>Stabilitas Politik merupakan suatu elemen penting guna terjaganya tekanan Ekonomi dalam pemetaan Geopolitik dunia sekarang ini. Hal itu dibenarkan dalam Sambutan Rapimnas Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta pada hari kamis (28/7/2016) oleh Presiden Jokowi.</p>
<p>Dalam berbagai kasus yang hadir di tahun 2016 yang terus bergulir di 2017 seperti Kasus Terdakwa Penistaan Agama yang dilakukan oleh Saudara Ahok yang menciptakan Demo besar-besaran untuk memperkarakannya menjadi cerminan Stabilitas Politik yang tidak dapat dikendalikan oleh Pemerintahan Jokowi, yang mana dapat mengakibatkan berbagai ancaman seperti Tekanan Ekonomi Global.</p>
<p>Dimana mengingat Indonesia adalah Negara Berkembang yang mana Pasar Modal Indonesia masih sangat membutuhkan Suntikan Dana dari Para Investor Asing yang ingin menanamkan Modalnya sehingga keharmonisasian Politik di Negeri ini harus tetap terjaga.</p>
<p>Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi cerminan kondisi pasar modal Indonesia. Makin tinggi IHSG maka gairah investasi di bursa saham semakin tinggi. Dalam satu tahun terakhir, laju IHSG memang terus mengalami kenaikan. Di mana pada September 2015 IHSG menyentuh titik terendah di posisi 4.223, namun kini IHSG kembali ke level di atas 5.400-an.</p>
<p>Namun menurut Direktur Investasi MNC Asset Management Suwito Haryatno, kenaikan IHSG sebagian besar dipengaruhi aliran dana asing yang masuk ke pasar modal alias <em>capital inflow</em>.</p>
<p>Sebab sebagai Negara Berkembang, pasar modal Indonesia juga ikut berkembang yang mana mengakibatkan para Investor Asing memandang pasar modal Indonesia masih menjanjikan.</p>
<p>Akan tetapi, jika Stabilitas Politik yang terjadi di tahun 2016 masih saja tidak dapat di selesaikan oleh Pemerintahan Jokowi pada tahun 2017 maka, dapat mengakibatkan <em>Stigmatisasi </em>jelek para Investor Asing terhadap Pasar Modal di Indonesia, dikhawatirkan nantinya mereka berpandangan bahwa Pemerintahan Jokowi tidak dapat Mengurus Politik dalam Negerinya sehingga para Investor Asing akan menunda Niatnya untuk menanamkan Modalnya di Indonesia mengingat Keadaan Politik dalam Negeri masih dinilai Kurang stabil.</p>
<p>Hal ini dapat berdampak pada Perekonomian Negara yang mana pada tahun 2017 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen akan sedikit mengalami kendala akibat Stabilitas Politik dalam negeri yang kurang terjaga Keharmonisasiannya.</p>
<p>Demi merealisasikan Pertumbuhan Ekonomi sebesar 5,3 persen pada tahun 2017, maka Pemerintahan Jokowi harus segera Menyelesaikan beberapa PR Negara Khususnya Politik dalam Negeri jika tidak, Asumsi sebesar 5,3 persen dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia mungkin saja tidak dapat terealisasikan. (telah dipublikasikan di koran sindo Batam)</p>
<p>*Mahasiswa Fakultas Hukum Semester III</p>
Gatot Sugiharto Mengajak MABA FH UAD 2016 Melawan Penyalahgunaan Narkoba
/in Artikel /by lawuad<p>Mahasiswa Baru Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan disambut dengan ajakan melawan penyalahgunaan Narkoba. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba saat ini telah menjadi ancaman serius bagi berbagai aspek kehidupan, dunia internasional telah menyatakan perang terhadap narkoba, negara anggota komisi obat-obatan narkotik (Commission on Narcotic Drugs) PBB di Wina, Austria. 7 (Tujuh) negara yakni Indonesia, China, Jepang, Malaysia, Thailand, Filipina, Pakistan bersepakat untuk memfokuskan koordinasinya terkait dengan sindikat Afrika Barat yang menggunakan remaja dan wanita sebagai kurir narkoba ujar Gatot Sugiharto selaku aktifis gerakan anti Narkoba.</p>
<p>Lebih lanjut Gatot Sugiharto yang juga Dosen Fakultas Hukum UAD mengatakan bahwa bahaya penyalahgunaan narkoba bukan saja terhadap diri sendiri, namun lebih dari itu bisa membahayakan, keluarga, lingkungan masyarakat, bangsa dan Negara. Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi narkoba bisa merenggut nyawa pemakainya. Angka kematian pecandu narkoba di Indonesia termasuk dalam kategori cukup tinggi,. Survey nasional dari tahun ketahun mengalami peningkatan, menurut data Badan narkotika Nasional menunjukkan 15 ribu nyawa manusia melayang sia-sia setiap tahunnya yang disebabkan oleh penyalahgunaan narkoba, seperti overdosis, AIDS, Hepatitis, Jantung, Ginjal dan penyakit paru-paru.</p>
<p>Kondisi tersebut menunjukkan bahwa narkoba adalah sarana paling efektif untuk menghancurkan dan merusak generasi bangsa dan pilar-pilar Negara, sehingga narkoba seakan bagai monster pembunuh tanpa wajah yang dapat merusak dan menghancurkan masa depan bangsa setiap saat dan waktu. Narkotika bukan tidak boleh sama sekali dalam penggunaannya, karena untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pengobatan penggunaan narkotika masih dimungkinkan. Namun yang perlu dipahami bersama bahwa yang dilarang adalah penyalahgunaannya atau menggunakan narkoba diluar dua kepentingan tersebut merupakan pelanggaran hukum sebagaimana di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Yang harus disadari adalah keganasan narkoba tidak boleh dibiarkan terus menerus merajalela dan meracuni setiap individu baik dikalangan masyarakat terlebih pelajar dan mahasiswa yang menjadi tumpuan masa depan penerus generasi bangsa.</p>
<p>Mahasiswa sebagai miniatur bangsa Indonesia dua puluh sampai tiga puluh tahun mendatang harus menyadari akan ancaman tersebut, maka menyelamatkan generasi bangsa merupakan persoalan yang sangat urgen dilakukan. Dengan kesadaran penuh tentang bahaya penyalahgunaan narkoba menjadi hal yang harus ditanamkan pada setiap diri mahasiswa agar dapat membentengi diri dari ancaman penyalahgunaan narkoba yang selalu mengintai setiap saat dan setiap waktu.</p>
<p>Selain penguatan jaringan kemitraan, perlu juga dikembangkan penyadaran-penyadaran yang sifatnya personal bagi mahasiswa secara mandiri, artinya untuk memberantas narkoba bisa dilakukan dari diri sendiri, Ini menjadi penting, karena kesadaran personal tersebut, jika diakumulasikan menjadi kesadaran komunitas akan sangat ampuh untuk menjadi benteng dalam melawan bahaya narkoba. Mari mahasiswa sebagai agen perubahan secara bersama-sama kita teguhkan semangat untuk berjuang demi masa depan kita yang lebih baik dengan membentengi diri kita dari serangan penyalahgunaan narkoba. SALAM ANTI NARKOBA.</p>
Bangga Melanggar Hukum
/in Artikel /by lawuad<p>Seorang teman tiba-tiba mendekat di tengah kerumunan dengan penuh semangat ia bercerita tentang kejadian yang baru saja ia alami. Ia mulai bercerita bahwa ia baru saja bisa lolos dari kejaran aparat penegak hukum (polisi lalu-lintas). Polisi mengejar karena pada waktu lampu merah menyala ia tidak berhenti tapi terus memacu kendaraan, tak tahunya polisi sedang dipos jaga dan langsung mengejar.</p>
<p>Dari kaca spion terlihat polisi mengejar dari belakang ia bukannya berhenti tapi memacu lebih kencang kendaraanya, dengan lincah zig-zag menyalip kendaraan lainya. Polisi tidak juga berhasil menyusulnya, sempat beberapa kali teman saya mau menabrak pengendara lain. Di depan ada gang sempit ia belok masuk ke gang kampung dan polisipun kehilangan jejak. Dengan penuh berapi-api ia mengahiri cerita, bahwa ia mampu mengelabuhi penegak hukum. Cerita diakhiri dengan perkataan “Saya dilawan!” sambil menepuk dada.</p>
<p> Tanpa rasa malu sahabatku tadi bercerita dengan bangga padahal ia telah melakukan pelanggaran hukum, melanggar hak pengguna jalan yang lain dan membahayakan orang lain sekaligus membahayakan dirinya sendiri. Kecelakaan seringkali terjadi karena keberanian yang salah yaitu keberanian melawan hukum bukan kebaranian menegakkan hukum.</p>
<p>Bahkan kadang kala ada kepuasan tersendiri bagi pelanggar hukum bila mampu lolos dari kejaran penegak hukum. Aksinya dirasa sebagai aksi yang heroik yang pantas untuk diceritakan pada orang lain tanpa disertai rasa penyesalan dan rasa malu karena ia telah melakukan kesalahan. Ada hal yang menarik saat ditanyakan kenapa ia bangga melakukan aksi itu melanggar hukum. Jawabnya cukup mencengangkan yaitu ia bangga karena ia beberapa kali ketangkap penegak hukum pada waktu ada operasi zebra, dan diperlakukan seakan- akan aparat mencari-cari kesalahan pada kendaraanya. Jadi ternyata ada unsur balas dendam dengan aparat penegak hukum yang dipandangnya menyalah gunakan kewenangannya.</p>
<p> Sekilas dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara prilaku masyarakat terhadap hukum dengan prilaku penegak hukum. Budaya masyarakat terhadap hukum yang tanpa rasa malu dan takut melakukan perlawanan terhadap hukum bukanlah hal yang berdiri sendiri. Akan tetapi ada hal lain yaitu perilaku penegak hukum yang kadang mengusik rasa keadilian masyarakat karena merasa diperlakukan tidak adil.</p>
<p>Keteladanan para penegak hukum menjadi tonggak contoh bagi perilaku budaya hukum masyarakat. Oleh karena itu untuk menciptakan masyarakat yang tertib tidak cukup dengan sanksi hukum yang berat tatapi juga perilaku para penegak hukum. Penegak hukum yang korup, yang semena-mena menggunakan kekuasaaanya, berlaku tidak adil akan membentuk masyarakat yang tidak menghargai hukum.</p>
<p>Hukum dalam pandangan masyarakat kita tercermin pada penegakan hukum, apabila penegak hukum tidak baik maka masyarakat menganggap hukum kita tidak baik begitu juga sebaliknya. Bahkan hukum tercermin pada para penegak hukum, oleh karena itu perlu pembenahan baik substasnsi hukum, struktur dan juga cultur hukum. Pembentukan budaya hukum bisa berhasil bila berjalan beriringan dengan keteladanan para pemimpin dan penegak hukum.</p>
<p>Penyadaran kepada masyarakat perlu dilakukan secara massif agar hukum terinternalisasi dalam setiap individu sehingga rasa malu akan mancul bila melakukan pelanggaran hukum. Bahkan melanggar hukum harus dipandang sebagai sikap yang menyimpang dan memalukan bukan hal yang harus dibanggakan.</p>
MENGHINDARI FORMALISME RAMADHAN
/in Artikel /by lawuadOleh : Rahmat Muhajir Nugroho, SH,
MH*
Di bulan yang istimewa
ini, tampak kesadaran beribadah di kalangan umat Islam bangkit kembali.
Terbukti dengan penuhnya masjid, musholla, langgar, surau, kantor dan kampus
dengan berbagai macam kegiatan keIslaman, seperti buka puasa bersama, sholat
tarawih, pengajian, kuliah subuh, tadarus Al-Quran dan sebagainya. Ini boleh
dibilang “keberhasilan†Allah dalam mendesain satu bulan diantara 11 bulan yang
lain, yang memiliki daya pikat dan daya dongkrak kesadaran religius umat Islam
seluruh dunia untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah. Seluruh lapisan
masyarakat muslim, baik orang miskin, orang kaya, pejabat, pegawai, artis,
selebritis, pedagang, pengusaha dan lain-lain, berlomba-lomba meraih pahala di
bulan penuh barokah ini. Tak ketinggalan
media massa khususnya Stasiun televisi menayangkan beraneka acara yang
bernuansa religius dan Islami, semakin menambah kemeriahan bulan penuh rahmat.
Sebagaian besar umat
Islam melakukan amalan utama di bulan Ramadhan yaitu berpuasa. Termasuk mereka
yang jarang sholat sekalipun, khusuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Dapat
diprediksi, bahwa peserta puasa Ramadhan lebih banyak jumlahnya, jika dibandingkan
daftar peserta sholat lima waktu. Beragam motivasi tentu melatarinya, ada yang merasa
tidak enak atau malu dengan orang lain jika tidak berpuasa, ada sebagian orang
yang sekedar menganggap puasa sebagai tradisi ritual yang harus dijalani, namun
tidak sedikit pula yang berpuasa dengan sungguh-sungguh karena mengharap ridho
Allah demi menebus dosa. Sebab Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berpuasa
di bulan Ramadhan dengan benar dan karena mengharap pahala dari Allah, maka
diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.†(Buchary, Muslim).
Semarak Ramadhan dengan
kebangkitan religius secara massal ini, merupakan fenomena yang terjadi setiap
tahun, sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Namun sayangya, semangat
keIslaman tersebut akan segera lenyap seiring dengan berakhirnya bulan
Ramadhan. Masjid-masjid akan kembali sepi, tadarus Al-Qur’an dinyatakan selesai
dan ditutup dengan ritual khataman, index infak/shodaqoh melemah menyesuaikan
neraca pahala, dan para selebritis kembali kewujudnya semula.
Aneh dan ironis memang,
ternyata bulan Ramadhan yang dirancang sebagai sahrutarbiyah (bulan pendidikan) belum mampu menghasilkan secara
signifikan alumnus-alumnus yang muttaqin. Sebagian Umat Islam masih terjebak
pada formalisme ibadah, yang diciptakannya sendiri. Orientasi ibadah sekedar
untuk menggugurkan kewajiban dan berpartisipasi meramaikan suasana bulan suci
yang penuh suka cita. Artinya hasil pendidikan itu belum benar-benar menyentuh
pada level substansi perintah Ilahi, yaitu melahirkan pribadi yang bertaqwa.
Ada semacam kesalahan yang amat elementer pada diri umat islam, khususnya di
Indonesia, bahwa beragama itu semata-mata menjalankan perintah pada saatnya,
dan kemudian mengingkari hakikat perintah itu pada kesempatan yang lain.
Fenomena korupsi di Indonesia misalnya, yang notabene sebagian besar pelakunya
adalah muslim, yang tentunya mereka juga menjalankan ibadah puasa, sholat,
zakat bahkan haji, tetapi mengapa mereka tetap mengambil uang yang bukan haknya.
Mereka bukannya tidak tahu hukum negara maupun hukum agama, karena mereka
adalah orang-orang yang terdidik, tapi diantara mereka sengaja melakukan
kesalahan karena terjebak pada paradigma kalkulasi pahala dan dosa.
Sebagai ilustrasi,
suatu saat saya pernah bertemu teman yang sekarang bekerja di Jakarta, dia
berkata kepada saya, tidak apa-apa mendapat rezeki yang tidak seratus persen halal
toh itu dapat dibersihkan dengan zakat, karena itulah fungsi zakat. Tidak
apa-apa menjalankan maksiat toh itu dapat dihapus dengan sholat. Tidak apa-apa
korupsi toh dapat ditebus dengan naik haji. Itu jelas logika yang ngawur dan
sangat menyesatkan. Antara yang haq dengan batil tentu tidak dapat
dicampuradukkan. Kalau niatnya sudah keliru dan menyengaja berbuat dosa, pasti
Allah tidak akan mengampuni dosanya, sekalipun dengan amal sholeh yang
dilakukannya. Allah berfirman, “Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan
atau tidak kamu mintakan ampunan, Sesungguhnya Allah tidak akan memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.†(Al-Munaafiquun ayat 6). Perbuatan itu
termasuk perbuatan orang yang fasik, artinya orang yang sudah mengetahui bahwa
perbuatan tersebut dilarang, mereka tetap melanggarnya.
Realitas kehidupan umat
Islam di Indonesia sebagai penduduk mayoritas, ternyata sebagian adalah
penganut logika berpikir diatas tadi. Berbagai kasus yang mencuat seperti kasus
korupsi, kolusi dan nepotisme, dengan melibatkan sebagian pejabat yang berlabel
Islam, merupakan bukti konkrit kegagalan impelementasi beragama yang dianutnya.
Pun demikian di level grassroot,
munculnya kekerasan antar kelompok agama, tawuran antar kampung, manipulasi
ijazah di tempat pendidikan menjadi bukti terjadinya disparitas antara Islam
sebagai sumber value (nilai) dengan perilaku
penganutnya.
Akibatnya umat Islam
tampil formalistik di bulan Ramadhan dan lepas kontrol diluar bulan Ramadhan. Sehingga
stigma Islam KTP yang menghinggapi umat Islam Indonesia sulit untuk dihilangkan.
Islam hanya digunakan sebagai simbol, yang muncul secara temporal dan jika
dibutuhkan. Islam muncul pada saat pernikahan, Islam muncul melengkapi
identitas kependudukan, Islam muncul saat pengajian, Islam muncul saat bulan
Ramadhan dan hari raya. Namun Islam akan disimpan ketika bicara tender
pengadaan, merancang Anggaran, melaksanakan proyek pembangunan, hilang di
panggung politik, lenyap ketika berhadapan dengan uang, jabatan dan kekuasaan.
Kekhusukan beribadah ternyata tidak berbanding lurus dengan kesungguhan
mengamalkan kejujuran, kesederhanaan dan keikhlasan. Seolah amal ibadah tersebut
hanya berfungsi sebagai laundry yang
bertugas mencuci pakaian kotor. Perilaku paradoks semacam ini semestinya segera
diakhiri.
Oleh karena itu, momentum
Ramadhan, dapat digunakan muslim Indonesia untuk kembali menghadirkan wajah Islam
yang sesungguhnya. Saatnya umat Islam berkontemplasi
secara nasional untuk mengakhiri keanehan dan kejanggalan perilaku tersebut. Bulan
Ramadhan bukan hanya media untuk melaksanakan ritual tahunan, namun lebih dari
itu, memberikan ruang kepada kita untuk kembali merenungkan tujuan hidup kita di
dunia dan mengkonsolidasikan antara mulut, tangan dan hati yang sudah lama
pecah kongsi. Bulan suci ini menjadi oase bagi kita untuk beristirahat sejenak,
bermuhasabah, untuk menghitung- hitung amal kita dan kesalahan kita di masa
lalu.
Umat Islam harus
kembali kepada tugas utamanya sebagai manusia yang diciptakan Allah untuk mengabdi
kepada-Nya. Allah berfirman : “Dan tidak
Aku ciptakan Jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku†(Q.S.
Adz-Dzariat ayat 56). Ibadah yang dimaksudkan
dalam ayat tersebut merupakan ibadah yang sungguh-sungguh dan berdimensi
sosial. Ibadah yang kita lakukan tidak hanya berhenti pada ibadah mahdah seperti : shalat, puasa, zakat,
haji. Namun ibadah sosial seperti
berinfak, shodaqoh, berbuat baik dengan istri/suami, anak, saudara, tetangga,
bersikap jujur dalam bekerja, adil dalam memimpin dan sebagainya, perlu
ditingkatkan secara masif, agar kesalehan individual kita berimbang dengan
kesalehan sosial.
Maka kita tidak boleh puas
dengan menggelar sajadah di masjid-masjid, karena sesungguhnya bumi dimana kita
berpijak merupakan hamparan sajadah panjang nan luas tempat kita untuk mengabdi
kepada Allah, untuk menebar kebaikan, kesalehan, dan kejujuran. Semoga dengan
pemahaman ini kita mampu menghindari perilaku paradoks antara di bulan ramadhan
dengan bulan-bulan lainnya.
–&&&–
*Rahmat
Muhajir Nugroho, SH, MH
Dosen
Fakultas Hukum UAD.
(Pernah
dimuat di Jawa Pos)
Kampus 4
Jalan Ahmad Yani, Tamanan, Banguntapan, Bantul Yogyakarta 55166
Telepon : (0274) 563515, 511830, 379418, 371120
Faximille : 0274-564604
Email :
Informasi Tentang
Daftar di UAD dan kembangkan potensimu dengan banyak program yang bisa dipilih untuk calon mahasiswa
Informasi PMB
Universitas Ahmad Dahlan
Telp. (0274) 563515
Hotline PMB
S1 – 0853-8500-1960
S2 – 0878-3827-1960
© 2021 Fakultas Hukum | Home | Portal Berita Update terakhir Desember 2021