MENGHINDARI FORMALISME RAMADHAN
Oleh : Rahmat Muhajir Nugroho, SH,
MH*
Di bulan yang istimewa
ini, tampak kesadaran beribadah di kalangan umat Islam bangkit kembali.
Terbukti dengan penuhnya masjid, musholla, langgar, surau, kantor dan kampus
dengan berbagai macam kegiatan keIslaman, seperti buka puasa bersama, sholat
tarawih, pengajian, kuliah subuh, tadarus Al-Quran dan sebagainya. Ini boleh
dibilang “keberhasilan†Allah dalam mendesain satu bulan diantara 11 bulan yang
lain, yang memiliki daya pikat dan daya dongkrak kesadaran religius umat Islam
seluruh dunia untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah. Seluruh lapisan
masyarakat muslim, baik orang miskin, orang kaya, pejabat, pegawai, artis,
selebritis, pedagang, pengusaha dan lain-lain, berlomba-lomba meraih pahala di
bulan penuh barokah ini. Tak ketinggalan
media massa khususnya Stasiun televisi menayangkan beraneka acara yang
bernuansa religius dan Islami, semakin menambah kemeriahan bulan penuh rahmat.
Sebagaian besar umat
Islam melakukan amalan utama di bulan Ramadhan yaitu berpuasa. Termasuk mereka
yang jarang sholat sekalipun, khusuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Dapat
diprediksi, bahwa peserta puasa Ramadhan lebih banyak jumlahnya, jika dibandingkan
daftar peserta sholat lima waktu. Beragam motivasi tentu melatarinya, ada yang merasa
tidak enak atau malu dengan orang lain jika tidak berpuasa, ada sebagian orang
yang sekedar menganggap puasa sebagai tradisi ritual yang harus dijalani, namun
tidak sedikit pula yang berpuasa dengan sungguh-sungguh karena mengharap ridho
Allah demi menebus dosa. Sebab Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berpuasa
di bulan Ramadhan dengan benar dan karena mengharap pahala dari Allah, maka
diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.†(Buchary, Muslim).
Semarak Ramadhan dengan
kebangkitan religius secara massal ini, merupakan fenomena yang terjadi setiap
tahun, sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Namun sayangya, semangat
keIslaman tersebut akan segera lenyap seiring dengan berakhirnya bulan
Ramadhan. Masjid-masjid akan kembali sepi, tadarus Al-Qur’an dinyatakan selesai
dan ditutup dengan ritual khataman, index infak/shodaqoh melemah menyesuaikan
neraca pahala, dan para selebritis kembali kewujudnya semula.
Aneh dan ironis memang,
ternyata bulan Ramadhan yang dirancang sebagai sahrutarbiyah (bulan pendidikan) belum mampu menghasilkan secara
signifikan alumnus-alumnus yang muttaqin. Sebagian Umat Islam masih terjebak
pada formalisme ibadah, yang diciptakannya sendiri. Orientasi ibadah sekedar
untuk menggugurkan kewajiban dan berpartisipasi meramaikan suasana bulan suci
yang penuh suka cita. Artinya hasil pendidikan itu belum benar-benar menyentuh
pada level substansi perintah Ilahi, yaitu melahirkan pribadi yang bertaqwa.
Ada semacam kesalahan yang amat elementer pada diri umat islam, khususnya di
Indonesia, bahwa beragama itu semata-mata menjalankan perintah pada saatnya,
dan kemudian mengingkari hakikat perintah itu pada kesempatan yang lain.
Fenomena korupsi di Indonesia misalnya, yang notabene sebagian besar pelakunya
adalah muslim, yang tentunya mereka juga menjalankan ibadah puasa, sholat,
zakat bahkan haji, tetapi mengapa mereka tetap mengambil uang yang bukan haknya.
Mereka bukannya tidak tahu hukum negara maupun hukum agama, karena mereka
adalah orang-orang yang terdidik, tapi diantara mereka sengaja melakukan
kesalahan karena terjebak pada paradigma kalkulasi pahala dan dosa.
Sebagai ilustrasi,
suatu saat saya pernah bertemu teman yang sekarang bekerja di Jakarta, dia
berkata kepada saya, tidak apa-apa mendapat rezeki yang tidak seratus persen halal
toh itu dapat dibersihkan dengan zakat, karena itulah fungsi zakat. Tidak
apa-apa menjalankan maksiat toh itu dapat dihapus dengan sholat. Tidak apa-apa
korupsi toh dapat ditebus dengan naik haji. Itu jelas logika yang ngawur dan
sangat menyesatkan. Antara yang haq dengan batil tentu tidak dapat
dicampuradukkan. Kalau niatnya sudah keliru dan menyengaja berbuat dosa, pasti
Allah tidak akan mengampuni dosanya, sekalipun dengan amal sholeh yang
dilakukannya. Allah berfirman, “Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan
atau tidak kamu mintakan ampunan, Sesungguhnya Allah tidak akan memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.†(Al-Munaafiquun ayat 6). Perbuatan itu
termasuk perbuatan orang yang fasik, artinya orang yang sudah mengetahui bahwa
perbuatan tersebut dilarang, mereka tetap melanggarnya.
Realitas kehidupan umat
Islam di Indonesia sebagai penduduk mayoritas, ternyata sebagian adalah
penganut logika berpikir diatas tadi. Berbagai kasus yang mencuat seperti kasus
korupsi, kolusi dan nepotisme, dengan melibatkan sebagian pejabat yang berlabel
Islam, merupakan bukti konkrit kegagalan impelementasi beragama yang dianutnya.
Pun demikian di level grassroot,
munculnya kekerasan antar kelompok agama, tawuran antar kampung, manipulasi
ijazah di tempat pendidikan menjadi bukti terjadinya disparitas antara Islam
sebagai sumber value (nilai) dengan perilaku
penganutnya.
Akibatnya umat Islam
tampil formalistik di bulan Ramadhan dan lepas kontrol diluar bulan Ramadhan. Sehingga
stigma Islam KTP yang menghinggapi umat Islam Indonesia sulit untuk dihilangkan.
Islam hanya digunakan sebagai simbol, yang muncul secara temporal dan jika
dibutuhkan. Islam muncul pada saat pernikahan, Islam muncul melengkapi
identitas kependudukan, Islam muncul saat pengajian, Islam muncul saat bulan
Ramadhan dan hari raya. Namun Islam akan disimpan ketika bicara tender
pengadaan, merancang Anggaran, melaksanakan proyek pembangunan, hilang di
panggung politik, lenyap ketika berhadapan dengan uang, jabatan dan kekuasaan.
Kekhusukan beribadah ternyata tidak berbanding lurus dengan kesungguhan
mengamalkan kejujuran, kesederhanaan dan keikhlasan. Seolah amal ibadah tersebut
hanya berfungsi sebagai laundry yang
bertugas mencuci pakaian kotor. Perilaku paradoks semacam ini semestinya segera
diakhiri.
Oleh karena itu, momentum
Ramadhan, dapat digunakan muslim Indonesia untuk kembali menghadirkan wajah Islam
yang sesungguhnya. Saatnya umat Islam berkontemplasi
secara nasional untuk mengakhiri keanehan dan kejanggalan perilaku tersebut. Bulan
Ramadhan bukan hanya media untuk melaksanakan ritual tahunan, namun lebih dari
itu, memberikan ruang kepada kita untuk kembali merenungkan tujuan hidup kita di
dunia dan mengkonsolidasikan antara mulut, tangan dan hati yang sudah lama
pecah kongsi. Bulan suci ini menjadi oase bagi kita untuk beristirahat sejenak,
bermuhasabah, untuk menghitung- hitung amal kita dan kesalahan kita di masa
lalu.
Umat Islam harus
kembali kepada tugas utamanya sebagai manusia yang diciptakan Allah untuk mengabdi
kepada-Nya. Allah berfirman : “Dan tidak
Aku ciptakan Jin dan manusia, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku†(Q.S.
Adz-Dzariat ayat 56). Ibadah yang dimaksudkan
dalam ayat tersebut merupakan ibadah yang sungguh-sungguh dan berdimensi
sosial. Ibadah yang kita lakukan tidak hanya berhenti pada ibadah mahdah seperti : shalat, puasa, zakat,
haji. Namun ibadah sosial seperti
berinfak, shodaqoh, berbuat baik dengan istri/suami, anak, saudara, tetangga,
bersikap jujur dalam bekerja, adil dalam memimpin dan sebagainya, perlu
ditingkatkan secara masif, agar kesalehan individual kita berimbang dengan
kesalehan sosial.
Maka kita tidak boleh puas
dengan menggelar sajadah di masjid-masjid, karena sesungguhnya bumi dimana kita
berpijak merupakan hamparan sajadah panjang nan luas tempat kita untuk mengabdi
kepada Allah, untuk menebar kebaikan, kesalehan, dan kejujuran. Semoga dengan
pemahaman ini kita mampu menghindari perilaku paradoks antara di bulan ramadhan
dengan bulan-bulan lainnya.
–&&&–
*Rahmat
Muhajir Nugroho, SH, MH
Dosen
Fakultas Hukum UAD.
(Pernah
dimuat di Jawa Pos)
Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.