Regulasi yang Ramah Investasi
Muhamad Saleh
Staf Hukum Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Setelah dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Minggu (20/10/2019) Presiden Joko Widodo dan Maruf Amin resmi menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia selama lima tahun kedepan. Dalam acara tersebut Presiden juga menyampaikan pidatonya di hadapan seluruh anggota MPR mengenai visinya untuk Indonesia dalam kepemimpinannya kedepan yang terdiri dari lima poin yaitu. Pertama, pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua, pembagunan infrastruktur. Ketiga, penyederhanaan regulasi demi investasi besar. Keempat, penyederhanaan birokrasi. Kelima, transformasi ekonomi. ruangtunggu.online
Dari kelima visi tersebut agenda penataan regulasi menjadi salah satu poinnya. Pada bagian ini Presiden banyak menyinggung soal pentingnya pemerintah melakukan pemangkasan terhadap perizinan di bidang investasi, sektor perizinan yang selama ini dianggap bermasalah dan cenderung berbelit-belit sehingga berakibat pada terhambatnya investasi asing di Indonesia. Presiden menegaskan penting untuk menghilangkan sejumlah hambatan, sektor perizinan yang rumit harus dipangkas agar lebih sederhana.
Mengurai Masalah
Reformasi perizinan yang mulai gencar dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) masih bergerak pada arus birokrasi. Namun, belum banyak bergerak ke tingkat lanjut, reformasi regulasi. Disini, sektor perizinan dihadapkan dengan begitu banyaknya jumlah/jenis perizinan. Penyumbang dari banyaknya jenis perizinan diakibatkan oleh banyaknya perundang-undangan yang mengatur perizinan (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah). Kondisi regulasi perizinan yang ada di Indonesia saat ini tidak berkualitas karena tumpang tindih, multitafsir, dan membebani, kuantitas regulasi tidak proporsional, dan pastinya adalah inefesiensi.
Di daerah, sebagian besar perizinan yang ada merupakan turunan dari regulasi pusat, sementara sebagian lainnya sebagai diskresi Pemda yang bersangkutan. Akibatnya terjadi disharmoni peraturan perundang-undangan terkait perizinan di berbagai sektor. Jika di klasifikasi secara umum jumlah regulasi yang mengalami ‘penumpukan’ ada pada level peraturan menteri dan peraturan daerah.
Efek Buruk
Terdapat sejumlah efek buruk dari keberadaan regulasi perizinan yang mengalami kelebihan diantaranya. Pertama, lemahnya daya saing investasi (Ease of Doing Business/EoDB) dan pertumbuhan sektor swasta. Misalkan saja di bidang kemudahan berusaha EODB yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Indonesia menduduki peringkat ke 73 dari 190 negara. Dalam laporan ditahun 2019 ini, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96. Dari 10 indikator yang dinilai oleh Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia mencatatkan penurunan di empat bidang. Yaitu dealing with construction permit, protecting minority investors, trading across borders, enforcing contracts.
Kedua, terbukanya peluang korupsi. Menurut KPK, korupsi perizinan masih menjadi lahan empuk korupsi pejabat daerah. Dari 105 kepala daerah yang kasusnya tengah ditangani KPK, 60 orang di antaranya terlilit kasus suap, sementara sisanya terkait kasus yang merugikan keuangan negara, gratifikasi, hingga pemerasan. Masalah perizinan dianggap kerap menjadi batu sandungan para kepala daerah yang akhirnya terjebak ke dalam kasus korupsi. Sehingga dengan kondisi regulasi perizinan yang tidak berkualitas karena tumpang tindih, multitafsir, membebani, tidak proporsional, dan pastinya adalah inefesiensi sulit rasanya dapat menciptakan regulasi perizinan yang dapat menghadirkan keadilan bagi masyarakat.
Penataan Regulasi
Maka untuk melakukan penataan terhadap masalah pada overregulated ini perlu di lakukan pembenahan konsep terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dintaranya muncul gagasan untuk menerapkan omnibus law dan consolidation law. Omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum (umbrella act). Sedangkan consolidation law merupakan praktek perundang-undangan di negara-negara common law yang berfungsi untuk mengkonsolidasikan norma-norma hukum yang berserakkan di banyak undang-undang. Tujuan dari konsolidasi perundangan-undangan tersebut adalah untuk memperjelas dan mengklarifikasi norma-norma hukum yang dianggap sumir dan kontradikstif dalam beberapa undang-undang. (Mirza Satria, 2015)
Consolidation law bisa diterapkan di Indonesia pada level undang-undang. Lembaga legislatif dapat membentuk klaster-klaster undang-undang yang memiliki subyek pengaturan sama. Misalkan disektor perizinan. Karena pengaturan perizinan diatur oleh bermacam-macam undang-undang sektoral, maka lembaga legislatif dapat mengkonsolidasikan jenis undang-undang yang akan mengatur sektor perizinan dalam satu undang-undang konsolidasi. Sedangkan omnibus law bisa diterapkan pada level peraturan di bawah undang-undang. Misalkan peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Mengapa omnibus law lebih tepat diterapkan pada peraturan di bawah undang-undang, dikarenakan ketika omnibus law dikeluarkan dapat membentuk norma baru. Hal ini sesuai dengan kewenangan Presiden yang memegang kekuasaan untuk membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang.
Dengan pendekatan konsep di atas lembaga legislatif dapat menerapkan consolidation law pada level undang-undang di sektor perizinan. Sehingga membuat regulasi-regulasi perizinan pada level undang-undang dapat dengan sederhana dilakukan penataan. Sedangkan untuk regulasi turunan dari undang-undang itu atau peraturan delegasinya bisa berbentuk peraturan pemerintah yang dibentuk langsung oleh Presiden. Presiden pada saat tertentu dapat menerapakan omnibus law untuk mengontrol berbagai peraturan pemerintah yang bermasalah yang seketika bisa dicabut dan membentuk norma baru hanya dengan mengeluarkan satu norma saja. Dengan dua pendekatan di atas kedepan diharapkan kehadiran regulasi di Indonesia bisa lebih sederhana, dapat memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat serta ramah terhadap investasi.