Antara “Flexing” dan “Kesehatan Mental” Gen Z: Kebebasan Berekspresi dan Jerat Hukum Pidana

Diky Oktavian
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum, Universitas Ahmad Dahlan
Pamer kekayaan, aset mewah, dan gaya hidup serbainstan telah menjadi norma baru di media sosial, didominasi oleh figur-figur yang mengklaim diri sebagai young entrepreneur (pengusaha muda). Ironisnya, paparan masif terhadap kemewahan artifisial ini telah berevolusi dari sekadar pamer menjadi strategi pemasaran yang agresif, dengan target pasar utama adalah Generasi Z
Tetapi, apa yang sebenarnya terjadi pada Generasi Z ketika media sosial kini dipenuhi oleh narasi flexing kesuksesan yang serba instan? Apakah pamer aset oleh pengusaha muda ini murni kebebasan berekspresi, ataukah justru merupakan strategi pemasaran yang berpotensi melanggar hukum dan secara fundamental merusak kesejahteraan mental generasi penerus? Dan, yang lebih penting lagi, bagaimana kerangka hukum dan etika dapat kita tegakkan untuk memastikan media sosial menjadi ruang inspirasi, edukasi yang sehat, bukan jebakan ilusi yang berujung pada penipuan?
“Gen Z Kelompok paling rentan terhdap ilusi flexing” Untuk memahami krisis ini, kita harus melihat subjek utamanya. Berdasarkan klasifikasi Badan Pusat Statistik (BPS), Generasi Z kelompok yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010 merupakan kelompok yang paling rentan terhadap gejolak di ranah daring karena status mereka sebagai digital native. Sejak usia muda, Gen Z telah menjadikan media sosial sebagai ekosistem utama untuk berinteraksi, mencari hiburan, dan mengakses informasi.
Padahal, potensi mereka luar biasa besar. Seperti yang dikemukakan oleh Don Tapscott dalam buku Grown Up Digital, Generasi Z diprediksi dapat berpotensi menjadi kekuatan dominan yang akan membentuk masyarakat dan ekonomi masa depan. Berbekal keterampilan teknologi dan komitmen terhadap isu-isu sosial, mereka memiliki modal besar untuk menciptakan perubahan positif. Potensi besar inilah yang kini terancam.
Ekosistem digital yang seharusnya menjadi wadah perubahan kini dipenuhi oleh fenomena Flexing. Secara umum, flexing dapat diartikan sebagai tindakan memamerkan kekayaan demi validasi publik. Namun, dalam konteks kritis ini, flexing pengusaha muda adalah upaya sistematis untuk membangun citra yang sering kali menyesatkan dan berpotensi melanggar etika edukasi finansial. Kerentanan Gen Z inilah yang membuat mereka menjadi sasaran empuk dari narasi kekayaan artifisial yang dipompakan secara massif oleh para flexer tersebutt.
Gempuran narasi flexing ini secara langsung menyerang fondasi psikologis Generasi Z. Mereka rentan menginternalisasi narasi “sukses harus instan” atau “kaya di usia 20-an,” yang memicu kecemasan, depresi, dan sindrom Imposter Syndrome karena rasa tertinggal (fear of mising of)dieknal dengan julukan FOMO. Ironisnya, banyak flexer yang sukses berkat investasi berisiko tinggi atau bisnis yang dipertanyakan (seperti binary options atau MLM skema cepat kaya).
Mirisnya lagi narasi ini diperkuat dan dinormalisasi melalui podcast dan kanal video populer yang berlomba-lomba mengundang para flexer tersebut. Wawancara yang kurang kritis ini seolah memberikan validasi ekstra. Sebagai role model, mereka secara sengaja mengaburkan garis antara sukses hasil kerja keras dan kekayaan yang dipaksakan untuk konten, gagal memenuhi tanggung jawab moral untuk mengajarkan grit (ketekunan), manajemen risiko, dan realitas pahit berbisnis, melainkan memilih ilusi. Yang terjadi adalah eksploitasi psikologis dengan memanfaatkan kerentanan Gen Z untuk menciptakan ilusi keberhasilan demi keuntungan personal.
Flexing sebagai Modus Operandi Hukum
Kegagalan etika ini kemudian beririsan tajam dengan ranah hukum pidana. Ketika flexing digunakan sebagai alat utama pemasaran, ia berpotensi menjadi modus operandi tindak pidana penipuan. Dalam banyak kasus investasi ilegal dan skema cepat kaya, aset mewah yang dipamerkan adalah elemen krusial untuk meyakinkan calon korban Gen Z agar tergerak menyerahkan dana.
Tindakan ini dapat dianalisis berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Menyatakan :”Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Dalam konteks ini, flexing berfungsi sebagai rangkaian kebohongan yang memenuhi unsur “menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu.” Lebih lanjut, di ranah digital, flexing yang menyesatkan juga terkait erat dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tentang penyebaran berita bohong yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik. Menyatakan:”Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.” Dengan demikian, Jika flexing dilakukan untuk mempromosikan layanan atau investasi yang tidak sah, perbuatannya bisa masuk kategori “informasi menyesatkan”.
Artinya, flexing bukan lagi sekadar konten, tetapi berpotensi menjadi modus operandi penipuan yang menyeret korban dalam jumlah besar terutama Gen Z.


