ANALISIS RESPON PRESIDEN TERHADAP WACANA PERPPU KPK
Mario Agritama
Mahasiswa Semester III FH UAD & Kepala Deputi Kajian & Penelitian BAKAD
UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini telah sah secara konstitusional dan berlaku sejak diundangkan. Kekecewaan mengenai keputusan pemegang kekuasaan tersebut menguat ke permukaan publik dimulai dari para pegiat anti korupsi hingga berbagai elemen masyarakat.
Janji Presiden Jokowi
Masih teringat dengan jelas dalam kepala masyarakat Indonesia, mengenai janji dari Presiden Jokowi untuk melakukan penguatan guna memberantas korupsi di Indonesia. Korupsi yang merupakan masalah utama yang merusak bangsa ini nampaknya kurang mendapatkan perhatian dari Presiden. Akibatnya korupsi yang terjadi pada negeri ini menguat dan sistematis dilakukan oleh pemegang kekuasaan negara yang sejalan dengan ungkapan Lord Acton yang menghubungkan antara “korupsi” dengan “kekuasaan”, yakni “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.
Mengingat Presiden Jokowi kerap berjanji untuk menguatkan pemberantasan korupsi pada realitanya yang terjadi pada permukaan publik saat ini sangat jauh berbeda. Setelah Presiden membahas dan menyetujui UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menuai banyak polemik, kekecewaan atas sikap Presiden tersebut menimbulkan berbagai gerakan mahasiswa dan elemen masyarakat yang begitu besar yang mengakibatkan berbagai korban berjatuhan di hampir seluruh penjuru Indonesia.
Belum hilang rasa kecewa dimasyarakat, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan respon yang mengecewakan bahwa tidak akan mengeluarkan Perppu KPK dengan alasan masih akan menunggu proses judicial review di Mahkamah Konstitusi atas dasar sopan santun ketatanegaraan dan menghormati proses hukum yang telah berjalan di Mahkamah Konstitusi.
Perlu diketahui dalam sistem hukum ketatanegaraan bahwa secara konstitusional Perppu dapat dikeluarkan kapan saja tanpa harus menunggu proses judicial review di Mahkamah Konstitusi. Ruang lingkup antara Perppu Presiden dan Judicial Review di MK merupakan dua ranah yang berbeda. Pertama, Perppu merupakan ranah eksekutif yang menjadi otoritas Presiden. Kedua, judicial review merupakan ranah yudikatif yang menjadi otoritas Mahkamah Konstitusi sehingga tidak berkaitan sama sekali dalam hal pengeluaran Perppu oleh Presiden.
Oleh karena itu, Argumentasi tersebut dapat dikatakan keliru dan dapat membentuk persepsi publik yang tidak paham akan hukum dan beranggapan harus melalui judicial review dulu baru dapat dikeluarkan Perppu. Namun, kenyataannya Perppu dapat dikeluarkan tanpa harus menunggu proses judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya mengenai logika yang digunakan bahwa Presiden menghormati proses uji materi di MK atau atas dasar sopan santun, dalam proses uji materi di MK hanya akan terjadi dua kemungkinan. Pertama, ditolaknya permohonan uji materi dan UU No. 19 Tahun 2019 tetap berlaku. Kedua, Menerima permohonan terkait uji materi UU KPK dan UU No. 19 Tahun 2019 tidak berlaku yang mengakibatkan tetap berlakunya UU No. 30 Tahun 2002. Apabila permohonan diterima maka tentu Presiden tidak perlu mengeluarkan Perppu, namun apabila permohonan ditolak maka akan lebih tidak memiliki sopan santun dan etika lagi dalam bernegara apabila Presiden menerbitkan Perppu disaat MK telah mengeluarkan putusan terkait Uji Materiil UU No. 19 Tahun 2019. Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sehingga berkaitan dengan ungkapan Presiden untuk menunggu proses judicial review di MK, disamping tidak memiliki kedudukan yang sah secara hukum, hal tersebut juga secara logika justru menimbulkan suatu etika dan sopan santun yang tidak baik dalam hubungan ketatanegaraan antara eksekutif dan yudikatif mengingat putusan yang dikeluarkan oleh MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat.
Harapan Pegiat Anti Korupsi
Saat ini, berbagai pegiat anti korupsi maupun masyarakat umum sangat mengharapkan respon Presiden untuk menyelamatkan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Perppu. Sangat keliru apabila Presiden tidak mendengarkan apa yang diinginkan oleh masyarakatnya demi menyelamatkan negara ini. Berdasarkan Teori Kontrak Sosial yang dipengaruhi oleh para filsuf abad pencerahan (enlightenment), diantaranya Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rousseau, bahwa negara terbentuk disebabkan oleh adanya keinginan masyarakat untuk membuat kontrak social. Jadi, sumber kewenangan berasal dari masyarakat itu sendiri (dalam UUD 1945, pemegang kedaulatan tertinggi adalah rakyat). Dalam konteks ini bahwa rakyat melakukan kesepakatan bersama penguasa untuk menitipkan suara dan kewenangan mereka terhadap pemegang kekuasaan (Presiden) agar menjalankan roda pemerintahan yang diamanatkan oleh rakyat. Sehingga Presiden dalam hal ini tidak boleh menutup telinga mengenai apa yang disuarakan rakyat, mengingat bahwa tujuan dari suara rakyat tersebut bukan semata-mata untuk kepentingan golongan semata tetapi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Urgensi Perppu KPK
Mengingat suatu syarat mutlak agar dapat dikeluarkannya Perppu oleh Presiden ialah berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”. Menurut pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subyektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengeluarkan Perppu.
Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kondisi kegentingan yang memaksa meliputi:
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
- Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Berdasarkan putusan tersebut salah satu poin yang dapat dijadikan dasar untuk mendefinisikan hal ihwal kegentingan yang memaksa ialah pada poin ke-1, yaitu: Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Perlu diketahui bahwa Korupsi merupakan extra ordinary crime yang sangat diperangi oleh berbagai negara di dunia hingga terbitnya konvensi anti korupsi UNCAC yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam UU No. 7 Tahun 2006 dikarenakan korupsi merupakan masalah utama bangsa Indonesia. Dampak yang ditimbulkan dari korupsi ialah dapat menghambat pembangunan bangsa ini yang berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia ditengah kondisi masyarakat yang sedang berkembang saat ini. Apabila dicermati dalam UU No. 19 Tahun 2019 pada salah satu poinnya mengenai izin penyadapan kepada dewan pengawas dapat berakibat pada hampir hilangnya proses Operasi Tangkap Tangan (OTT). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melakukan OTT, yaitu dengan melakukan Penyadapan. Namun, pada Undang-undang terbaru penyadapan itu harus atas izin Dewan Pengawas, sehingga kewewenang Dewan Pengawas disini sangat begitu besar dalam menentukan proses penegakan hukum di KPK. Disamping itu sepanjang sejarah lembaga pemberantasan korupsi pada berbagai negara di dunia hampir tidak ada yang memiliki Dewan Pengawas yang memiliki fungsi Pro Justitia. Menurut berbagai pendapat para akademisi yang peduli terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia salah satunya Zainal Arifin Mochtar, menyatakan bahwa hasil dari perubahan UU tersebut dianggap berpotensi melemahkan KPK dan tidak dapat menyelesaikan masalah korupsi secara cepat berdasarkan perubahan Undang-undang tersebut.
Dengan demikian, Penulis bersama Barisan Anti Korupsi Ahmad Dahlan memandang bahwa Presiden harus segera mengeluarkan Perppu KPK, mengingat peran KPK yang sangat penting dalam melakukan pemberantasan korupsi demi menyelamatkan negara ini dari para koruptor dan menciptakan negara yang bersih bebas dari korupsi.