Bentangan Hukum Progresif Dalam Konstruksi Paradigma Berfikir Hukum Di Indonesia
Durohim Amnan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
“Sifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencairan dari kebenaran satu ke kebenaran selanjutnya, membawa ilmu hukum progresif menjadi semacam gerakan pembebasan“ (Rahardjo, 2012:14).
Itulah yang di sampaikan oleh Prof. Sardjipto Rahardjo dalam menumbuhkan dimensi progresif dalam pembangunan hukum Indonesia melalui ilmu hukum sebagai ilmu pembebasan. Nomenklatur ‘hukum progresif’ yang menjadi salah satu peninggalan (legacy) atau jejak langkah intelektualitas para pemikir filsafat hukum di Indonesia menjadi warna tersendiri di dalam khazanah disiplin ilmu hukum yang kemudian ingin di transformasikan dari yang semula konsep metafisika pergi pada konsep aplikatif. Keutuhan ide tentang filosofi hukum Indonesia diperlukan oleh Prof. Sardjipto dalam membuat semacam tesis yang di ambil berangkat dari gugus teori yang dikemukakan hingga sampai pada akhirnya antitesis (contradictio) dan keluarnya sosiologi hukum sebagai sintesis. Spektrum perjalanan hukum progresif telah berubah menjadi ideologi bagi kelompok masyarakat yang menginginkan hukum di Indonesia ber-madzhab rasional, logis dan estetik (intrinsik). Bahwa yang di maksud hukum progresif adalah pranata dalam konteks ‘ide’ yang mengandung kesesuaian terhadap jalinan kebutuhan masyarakat yang sifatnya responsif dan dapat diterima, dalam artian ‘subjek’ dan ‘objek’ nya adalah masyarakat itu sendiri. “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” metafora atau sepenggal kalimat yang di sampaikan beliau bergitu mengandung arti yang mendalam dan bersih serta menjadi pengantar untuk tercapainya suatu keadilan hukum di kalangan masyarakat Indonesia.
Penggagasan hukum progresif telah terafiliasikan ke dalam pembangunan hukum Indonesia melalui pendekatan hukum yang sifatnya luwes dan fleksibel untuk membenahi ketidakteraturan hukum yang orientasinya masih berada dalam domain konservatif. Proposisi yang substansial yang maksudnya tidak bertautan ke hal formalisasi semata akan melampaui pemikiran sesaat dan menghendaki nilai ilmiah tersendiri serta dapat dipastikan memiliki tanggung jawab secara akademik dan proporsional. Maka dari itu kendati pionir atau maestro ‘hukum progresif’ telah di kebumikan tetap dan pasti ada banyak eksponen dan regenerasi pelanjut dari ide visioner ini.
Krisis di bidang hukum
Herman Bakir (2015: xi) mengungkapkan : Sebuah Intervening Line yang menghubungkan dua titik visioner, yang semakin lama semakin terang membentang secara imajinatif. Di titik yang satu, kita dapat melihat keadilan yang tegak penuh percaya diri sebagai salah satu kekuatan moral paling utama sistem penegakan hukum, sementara di titik lainnya kita melihat terbentuknya rangkaian penilaian a priori sintesis kita sehubungan pengkerangkaan terminlogi keadilan dalam doktrin yang di anut ribuan tahun lalu di dalam tradisi hukum. Doktrin yang di maksud adalah Piso’s Justice. Paham tentang tanggung jawab moral secara ekslusif yang di uraikan secara metodologis dalam karyanya berjudul Filsafat Hukum memberikan semacam sudut pandang tentang epistemologi hukum yang berkarakter Universal. Sangat relevan dan sahih bila di kaitkan dengan konsep sosiologi hukum (Hukum Progresif) yang mengindahkan ekstensifitas pembebasan melalui hukum. Tema fundamental keadilan dari doktrin hukum progresif bisa setiap saat dilacak keberadaannya dalam setiap sejarah pemikiran hukum, gagasan seperti ilmu hukum progresif ini tampil dalam berbagai manifestasi dengan mengemban ide yang jauh ke depan (jangka panjang). Tentunya ada banyak inovasi hukum yang dibuat oleh para pemikir hukum khususnya di Indonesia dengan analisis dan metodologis yang lebih modern dan holistik. Tapi kemudian belum ada visi hukum kedepan yang memang betul – betul menjamin keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat dengan semua problimatikanya terkecuali hukum progresif yang memang sangat sarat dengan kemajuannya. Orang tidak lagi keluar dari tempat yang sebetulnya sedang di terjang badai, hujan, angin puting beliung toh mereka malah membuat kaukus, kelompok dan pemikiran yang sifatnya jangka pendek dengan semua kepentingan pragmatiknya dan banyaknya sentimen sosial. Kharisma hukum yang awalnya berangkat dengan semangat nasionalisme daya juang akhirnya tersingkirkan dengan adanya ‘skandal kotor’ yang berpotensi di curigai dan masuk ke dalam tatanan tertib sosial. Memang pada dasarnya manusia memiliki pikiran yang rasional, tetapi karena kontaminasi dari yang irasional lebih banyak maka akan ikut ke dalam kelompok yang irasional pula dalam artian begitu kepentingan pragmatis merasuki maka tidak ubahnya mereka akan bermain judi. Itulah yang terjadi saat dimana ilmu hukum diperlukan sebagai panglima pembebasan. Flamboyan Indonesia sebagai negara hukum seharusnya menjadi epistemologi dan logika berfikir yang logis dalam memajukan dan me-reorientasi paradigma yang keliru. Kajian objek materil dari epistemologi ilmu hukum adalah ‘pengetahuan manusia’, dan objek materil dari logika ilmu hukum adalah ‘pemikiran manusia’. Metodologi itu yang seharusnya di uji melalui antropologi hukum, pedagogi hukum, andragogi hukum dan ilmu lainnya untuk melihat apakah resultante dari objek studi ilmu hukum berkerja atau tidak.
Permasalahannya adalah kaidah dan prinsip hukum yang menjunjung tinggi martabat manusia dan rasa keadilan belumlah sampai di tingkat yang lebih tinggi untuk melegalitaskan ‘hukum’ menjadi ‘hukum’ yang hakiki. Penjelasan normatif hanya akan berlaku di dalam perjalanan sejarah ilmu hukum, namun penjelasan yang lebih filosofis selalu berlaku di dalam dan diluar perjalanan sejarah ilmu hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan : “ masyarakat negara berkembang dengan suatu sistem yang pluralistik di mana sistem dan lembaga-lembaga hukum adat berlaku berdampingan dengan sistem dan lembaga-lembaga hukum barat atau mungkin dengan lembaga-lembaga hukum asing lainnya menghadapi suatu masalah yang khusus, karena hukum itu tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat (Kusumaatmaja, 1975: 6)”. Karena itu seluruh perangkat dan sistem nilai publik tidak boleh menjauh dari pranata kehidupan bermasyarakat agar bisa lebih mengetahui kebutuhan hukum apa yang sesuai dengan tataran serta budaya masyarakat. Kesejahteraan individual dapat saja dikorbankan demi asumsi atau bahkan ambisi tentang kemanfaatan yang lebih besar bagi kelompok masyarakat yang lebih besar, namun perlu di simak dengan khidmat bahwa kepedihan dan kebobrokan nilai akan di rasakan oleh masyarakat yang keadilannya di rebut oleh sekelompok orang.
Urgensi dan kebutuhan
Aforisme kearifan dan kesesuaian sangat penting dalam tatanan masyarakat yang dirundung ketidakadilan untuk memberikan suatu jaminan moral bahwa prinsip keadilan akan dikemas dan di bingkai dalam kepastian hukum yang bermartabat. Analisis regresi tidaklah cukup dan tidaklah mungkin untuk menggugurkan epistemologi dan logika berfikir hukum yang dasarnya mengedukasi. Kepiawaian manusia dalam memberikan nilai-nilai skala asumtif memberikan warna tersendiri dalam ilmu hukum. Hakekat kebenaran yang digali secara radikal melalui pemikiran yang ajeg tidak akan memberi terobosan hukum yang nilainya transendental. Diperlukan komparasi antara satu ‘ide’ dengan ide lain untuk melihat korespondensi dalam sistem nilai hukum yang semakin meluas dan sifatnya hierarkis. Cerminan eksistensi manusia sebagai makhluk berfikir, sebagaimana ditegaskan oleh filsuf Yunani Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir (animale rationale). Dengan modal ratio, manusia mampu meraih harkat, martabat, dan derajat. Disebabkan rasio manusia marupakan karunia Tuhan yang tak ternilai harganya. Untuk itu menjadi sangat diharuskan baik itu bagi pemangku jabatan ataupun orang biasa di dalam upaya mencerdaskan yang sifatnya kolaboratif dan inheren dengan tuntutan masyarakat. Dengan mencuatkan diskursus ‘hukum progresif’ di harapkan bisa membuat hukum di Indonesia menjadi lebih tertata dan ‘menyempurnakan’ rumusan yang telah di gagas supaya dunia hukum yang maha luas ini dirancang, tercipta (secara ekslusif) semata – mata demi penghambaan/pelayanannya kepada KEADILAN (yang mesti tegak), sehingga berdasarkannya eksistensi keadilan pun akan mendahului/mengalahkan eksistensi dunia dan seisinya. Oleh karena itu kampus adalah tempat yang paling layak dalam menyusun dan mengembangkan kembali ide hukum progresif dan melanjutkan pembebasan yang di mulai dari Ilmu Hukum.