Dr. Fithriatus Shalihah,SH,MH, Kaprodi Magister Hukum UAD : “Mengulas Hak-Hak Pekerja Perempuan”
Yogyakarta – Dalam kegiatan diskusi yang diselenggarakan oleh POROS UAD bertajuk Hak-Hak Pekerja Perempuan, Dr. Fithriatus Shalihah,SH,MH, yang didaulat sebagai narasumber mengatakan bahwa dalam urusan perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja perempuan telah diatur dengan baik dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia. Dalam pemenuhan hak maternitas UU Nomor 13 Tahun 2003 maupun UU Nomor 11 Tahun 2020 telah mengakomodir dengan baik.
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang hak-hak pekerja perempuan, Dr. Fithriatus Shalihah,SH,MH, yang merupakan pakar hukum ketenagakerjaan Universitas Ahmad Dahlan menyampaikan bahwa hak sendiri bisa tergolong hak searah/relatif (dalam hukum perjanjian) dan hak absolut yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hubungan kerja merupakan hubungan yang didasari oleh perjanjian kerja yang seharusnya masuk dalam ranah hukum privat. Namun dalam konteks hubungan tersebut negara berkepentingan mengintervensi dengan memberikan pengaturan tentang ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya tentang hubungan kerja. Menurut Fithriatus Shalihah, dalam urusan pekerja/buruh negara harus hadir karena dalam perlindungan pemenuhan hak bagi pekerja atau tempat bergantung satu-satunya adalah negara. Termasuk pemenuhan hak maternitas bagi pekerja perempuan.
Ada banyak konvensi internasional (ILO) yang menjadi rujukan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan, seperti konvensi nomor 100 tahun 1951 tentang kesetaraan upah; konvensi nomor 111 tahun 1958 tentang larangan diskriminasi atas pekerjaan dan jabatan; konvensi nomor 156 tahun 1981 tentang pekerja dengan tanggungjawab keluarga dan konvensi nomor 183 tahun 2000 tentang perlindungan kehamilan.
Oleh karena itu salah satu yang diatur dalam ketentuan pasal 153 ayat (1) e hukum nasional kita bahwasannya pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.
Sehingga selain telah dengan jelas dan tegas diatur tentang waktu kerja yang konsisten bagi pekerja perempuan, seperti larangan bagi yang belum berumur 18 tahun dan perempuan hamil dilarang bekerja sift malam hingga pagi hari, bagi yang oleh hukum diperbolehkan maka pengusaha punya kewajiban pengusaha memberikan makanan dan minuman bergizi dan menjaga kesusilaan, keselamatan dan keamananan ditempat kerja; berikut memberikan fasilitas antar jemput bagi yang bekerja pada jam tersebut.
Selain itu Fithriatus Shalihah juga menyoroti pengaturan hak-hak pekerja perempuan yang beberapa waktu yang lalu ramai dibicarakan yakni pada RUU KIA. Pengaturan tentang cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan dengan waktu 6 bulan dalam RUU KIA dimaksudkan agar pekerja perempuan yang telah menjadi ibu tersebut dapat memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Meskipun standart pemberian hak maternitas dalam RUU KIA tersebut dianggap bagus karena lebih baik dari yang telah diatur saat ini oleh UU Ketenagakerjaan, namun seharusnya pemerintah tidak boleh abai, bahwa bicara mengenai pemenuhan hak pekerja perempuan termasuk cuti hamil dan melahirkan tersebut sudah jelas berada dalam lingkup UU Ketenagakerjaan. Siapa yang berwenang mengatur, melaksanakan dan mengawasi sudah jelas. Persoalan bugdeting nya juga sudah jelas pengaturannya. Dan sejauh ini sudah berjalan. RUU KIA ini harus dikaji lagi jangan sampai akhirnya nanti disahkan menjadi UU kemudian muncul masalah baru yakni tumpah tindih peraturan.
Menurut Fithriatus Shalihah, dalam tataran law in action pun akan susah diterapkan untuk kondisi Indonesia saat ini, dimana jumlah angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan setiap tahun sangat banyak. Sementara jumlah pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah orang yang membutuhkan pekerjaan. Dari sisi pekerja perempuanpun bisa saja ini menjadi celah yang membahayakan kedudukannya dalam dunia kerja. Pengusaha bisa juga cenderung berpegang pada no work no pay. Sebab 6 bulan tidak bekerja dan pengusaha harus tetap memberikan upahnya, hal baru seperti ini akan menjadi persoalan pada hubungan kerja di dunia usaha/dunia industri yang mempekerjakan pekerja perempuan khususnya sektor swasta. Kecuali barangkali BUMN akan menegakkannya terlebih dahulu jika harus diberlakukan juga menjadi UU. Kata Dr. Fithriatus Shalihah,SH,MH. sebelum menutup paparannya.