Launching dan Bedah Buku Karya Dosen Fakultas Hukum
Yogyakarta. Suara Muhammadiyah bersama Universitas Ahmad Dahlan melangsungkan Launching dan Bedah Buku karya Immawan Wahyudi yang berjudul Muhammadiyah: Wawasan dan Komitmen, Kamis, 5/1/23 di Amphiteater Fakultas Kedokteran. Hadir memberikan sambutan dalam kegiatan tersebut adalah Rektor Universitas Ahmad Dahlan, Muchlas MT, dan Direktur Utama PT. Serikat Cahaya Media, Deni Al-Asy’ari.
Muchlas dalam sambutan mengungkapkan kesannya terhadap dua chapter favorit pada buku tersebut, yaitu Kiai Bungistu dan Patehan. Alasan dirinya terkesima karena dua bab ini menjadi bagian dirinya sebagai kader Muhammadiyah. Istilah Kiai Bungistu diumpamakan sebagai sosok kader atau pendakwah yang punya komitmen tinggi kepada agama dan persyarikatan Muhammadiyah, meskipun hanya satu atau dua dalil naqli yang dihafal. Di mana-mana berdakwah dan menjadi pembela nomor wahid terhadap Islam dan Muhammadiyah. Keberadaan kiai seperti ini tidak boleh dipandang remeh, karena justru pada dirinya telah berkontribusi dalam menggerakkan Muhammadiyah menjadi dinamis. Menurutnya, “Orang-orang atau anggota Muhammadiyah yang seperti inilah yang secara masif dalam menjaga persyarikatan kita tetap dinamis,” Sementara itu, Patehan merupakan sebutan yang disematkan kepada orang yang membantu secara totalitas dalam menyelesaikan pekerjaan. “Kita semua ini adalah patehan di dalam Muhammadiyah,” ujarnya. Oleh karena itu, setiap kader, anggota, dan simpatisan Muhammadiyah harus siap menjadi patehan.
Buku yang ditulis rentang 1984-2022 (38 tahun) oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan ini merupakan kumpulan tulisan reflektif tentang Muhammadiyah yang dialami langsung penulis. Waktu yang cukup panjang tersebut menunjukkan konsistensi dalam dunia literasi. “Ada semangat dan konsistensi beliau di dalam merawat dunia literasi dan juga menjaga budaya akademisi. Dengan posisi beliau yang sudah masuk di dunia politisi, ternyata masih bisa merawat dunia literasi. Itu sangat langka. Sebab kalau orang yang sudah merasa enaknya di dunia politisi, mungkin dunia literasi dan akademisi mulai mengabur. Tetapi bagi senior kita, Bapak Immawan Wahyudi sampai tahun 2022 masih terus melahirkan karya tulis,” ucapnya. Langkah yang patut diteladani oleh kita semua. Pasalnya tidak banyak orang seperti Immawan yang punya komitmen dan konsisten menulis tanpa henti.
Perlu diketahui bahwa Immawan Wahyudi adalah sosok yang pernah menjadi aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Kemudian terlibat aktif dalam Majelis dan Lembaga di lingkungan Muhammadiyah. Menjadi akademisi di Universitas Ahmad Dahlan (dulu IKIP Muhammadiyah) sebelum diberi mandat organisasi menjadi politisi hingga pernah menjadi Wakil Bupati Gunung Kidul 2011-2021. Sekarang kembali ke dunia pendidikan menjadi akademisi hukum dan penulis produktif di berbagai media.
Bertindak sebagai pembedah buku, yaitu Muhammad Sayuti, Sekretaris PP Muhammadiyah dan Isngadi Marwah Atmadja, Direktur Media dan Publikasi Suara Muhammadiyah dengan moderator Muhammad Ridha Basri. Sayuti dalam pemaparannya menyatakan, “Menurut saya ada satu hal yang menjadi energi beliau untuk menulis. Dan bagaimana hal kecil menjadi bahan tulisan adalah sensitivitas. Tulisan tanpa sensitivitas kita (pembaca) tidak dapat apa-apa. Menjadi aktivis tanpa sensitivitas, berarti menjadi aktivis tanpa makna,” paparnya. Perubahan itu berawal dari sensitivitas. Oleh sebab itu, sensitivitas menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh kita semua.
Selain menyampaikan soal sensitivitas, Sayuti, juga menyoroti pentingnya setiap kader Muhammadiyah memiliki nalar kritis yang menghasilkan sikap mental serta tindakan yang mengarah pada perbaikan dan dapat diwujudkan dalam aksi nyata. Menurutnya, “Perkaderan itu adalah pelibatan.” Itulah sebabnya dibutuhkan pelibatan kader sebanyak-banyaknya sebagai sarana kaderisasi ke depan. Lingkungan kondusif juga perlu disiapkan guna menghidupkan wacana-wacana kader yang mencerahkan dan mampu menyelesaikan problem sosial.
Sementara itu, bagi Isngadi, bagian paling berkesan dalam buku ini adalah bab kritik dan saran. “Saya merasa rugi membaca buku Pak Immawan setelah terbit. Andaikan saya bacanya tujuh tahun atau sepuluh tahun yang lalu, maka akan lain ceritanya. Karena di sini (buku) ada salah satu tulisan yang berjudul kritik dan saran yang memiliki garis merah, yaitu tidak perlu sempurna untuk berbuat” ungkapnya. Lanjutnya, “Orang ketika memikul amanah di persyarikatan Muhammadiyah itu sama mulianya di manapun berada. Menjadi atap itu lebih terhina atau tidak lebih mulia dibandingkan menjadi tiang.” Setelah banyak membaca majalah Suara Muhammadiyah sejak ditulis huruf jawa sampai bahasa Indonesia, Isngadi berkesimpulan bahwa “Orang Muhammadiyah tidak perlu banyak berteori untuk berbuat.” (mh)