Memahami Logika Grundnorm Dengan Hukum Kausalitas
Muhammad Farid Alwajdi, S.H., M.Kn.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Ada 3 sebab mengapa saya menulis ini, Pertama, adalah Teori Hans Kelsen tentang teori hukum murni (Pure Theory of Law) sudah sangat dikenal luas dan mempunyai dampak di Indonesia. Salah satu pengaruh pemikiran Hans Kelsen di Indonesia adalah tentang hierarki norma atau jenjang norma (stufenttheorie) yang banyak dibahas berbagai buku hukum tata negara dan bahkan teorinya diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Salah satu isu pokok atau sentral dalam teori hierarki norma adalah pembahasan mengenai grundnorm sebagai norma dasar. Norma dasar sebagai pre-supposed berlakunya norma-norma di bawahnya (Indrati S, 2020, h. 43).
Kedua, Konsepsi mengenai grundnorm sebagai norma dasar masih menjadi perdebatan di kalangan sarjana hukum Indonesia. Perdebatan muncul ketika mempersamakan grundnorm dengan Pancasila. Pancasila menurut sarjana hukum seperti: Notonagoro, A. Hamid S Attamimi, Wirjono Prodjodikoro, Ismail Suny, Sri Soemantri, Soehino, dan lain-lain sebagai grundnorm (Asshiddiqie, 2021, h. 4). Sedangkan sarjana hukum yang lain, seperti Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at mempersamakan grundnorm atau staatsfundamentalnorm dengan Proklamasi (Asshiddiqie & Safa’at, 2006, h. 179). Saya meyakini bahwa perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan dalam memahami istilah grundnorm itu sendiri.
Ketiga, Sebagai seorang pengajar di Fakultas Hukum saya mempunyai kepentingan untuk menerangkan kepada mahasiswa bagaimana logika terbentuknya grundnorm. Sebagai orang muslim saya juga meyakini bahwa hakikat belajar-mengajar yang paling penting adalah dengan ilmu yang kita pelajari dan ajarkan kepada mahasiswa dapat mengantarkan kita untuk mengenal Allah (makrifatullah). Tiap orang seharusnya berusaha untuk sampai kepada Rabb-nya meskipun jalan yang harus dilaluinya berbeda-beda karena perbedaan profesi atau pekerjaan. Namun usaha untuk sampai kepada tahap makrifatullah harus senantiasa kita usahakan. Bukankah kewajiban kita di dunia ini hanyalah mengabdi kepada Allah semata?. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya berusaha menguraikan bahwa pemahaman akan konstruksi logika grundnorm dapat membawa kita kepada makrifatullah. Penjelasannya sebagai berikut.
APA ITU GRUNDNORM?
Istilah grundnorm adalah istilah yang dibangun oleh Hans Kelsen untuk menjelaskan mengenai salah satu hal yang ada dalam teori jenjang norma hukum (Stufenttheorie). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dalam suatu tata susunan atau hierarki. Artinya norma yang lebih rendah itu berlaku disebabkan oleh norma yang lebih tinggi, pertanyaannya kemudian, dari mana norma yang lebih tinggi tersebut mendapatkan kekuatan berlaku, akan dijawab dengan norma yang lebih tinggi lagi; demikian seterusnya sampai pada suatu sebab yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, abstrak namun dianggap ada, nah itulah yang disebut sebagai grundnorm menurut Hans Kelsen atau staatsfundamentalnorm menurut Hans Nawiasky (Kelsen, 1949, h. 111) (Asshiddiqie, 2021, h. 4).
Jadi grundnorm (basic norm) itu merupakan sebab bagi berlakunya semua norma-norma hukum di bawahnya. Dalam berbagai literatur yang ditulis oleh sarjana hukum Indonesia grundnorm diartikan sebagai “norma dasar”; “norma dasar negara”; “norma fundamental negara”; dan “norma tertinggi”. Norma dalam pengantar ilmu hukum diterangkan sebagai pedoman/patokan/ukuran tentang bagaimana seseorang harus bersikap/berperilaku dalam kehidupan bersama (Mertokusumo, 2010, h. 5). Pertanyaan pentingnya adalah mengapa norma dasar ini menjadi daya berlakunya bagi norma dibawahnya?. Dijawab bahwa norma dasar ini menjadi norma tertinggi karena dianggap demikian atau diyakini tidak ada norma lain yang lebih tinggi.
Para sarjana hukum generasi awal kemerdekaan sampai pertengahan banyak yang menganggap bahwa grundnorm atau staatsfundamentalnorm dalam konteks Indonesia adalah Pancasila. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara yang menjadi dasar berlakunya UUD NRI 1945. Pertanyaannya: apakah pancasila merupakan sebab dari lahirnya UUD NRI 1945? Saya berpendapat bahwa pancasila bukan merupakan sebab lahirnya UUD NRI 1945. Pancasila boleh saja dikatakan sebagai cita hukum atau jiwa dari segala peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Namun apakah tanpa pancasila keberlakuan UUD NRI 1945 menjadi hilang? Tentu saja tidak.
Seandainya suatu saat masyarakat Indonesia (baik secara bersama-sama maupun perwakilannya di parlemen) bersepakat untuk merubah atau menghilangkan rumusan pancasila, apakah tindakan tersebut sah? Menurut pendapat saya perbuatan tersebut sah, bukankah pada hakikatnya konstitusi itu merupakan suatu kesepakatan antar anggota masyarakat?. Bahkan Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945 menyebutkan yang tidak dapat diubah hanyalah mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia saja.
Sejarah menyatakan bahwa ide pertama pancasila adalah dari Bung Karno lewat pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Kalau merujuk kepada pemahaman bahwa grundnorm adalah dasar tertinggi berlakunya suatu norma maka yang mendasari adanya pancasila adalah Bung Karno. Akan tetapi usul Bung Karno tentang pancasila tersebut akan hilang begitu saja apabila sidang BPUPKI tidak menyetujuinya. Apakah BPUPKI yang menjadi dasar berlakunya segala norma yang ada di Indonesia?.
Pertanyaan tersebut di atas bukan untuk dijawab dalam tulisan ini namun hanya ingin menunjukkan bahwa pancasila itu merupakan sesuatu yang mungkin ada dan mungkin juga tidak ada. Ada atau tidaknya pancasila sekarang sangat tergantung dari keputusan BPUPKI pada waktu itu. Oleh sebab itu, menjadi pertanyaan apakah pancasila yang mungkin ada dan mungkin tidak ada dapat menjadi sebab dari segala sebab (norma tertinggi) dari lahirnya norma-norma hukum di Indonesia? Dengan pancasila yang berstatus “mungkin ada dan mungkin tiada” maka sangat aneh jika disebut sebagai grundnorm. Padahal syarat dapat disebut grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah: Tidak dapat diubah meskipun melalui prosedur resmi ataupun melalui prosedur tidak resmi (misalnya: revolusi) (Asshiddiqie, 2021, h. 39). Artinya grundnorm atau staatsfundamentalnorm tidak dapat diubah dengan cara apapun.
Lalu pertanyaan, grundnorm itu apa jika bukan pancasila? Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Syafa’at pernah menyatakan grundnorm atau staatsfundamentalnorm dalam konteks Indonesia adalah proklamasi (Asshiddiqie & Safaat, 2006, h. 179). Saya berpendapat pernyataan Proklamasi sebagai grundnorm atau staatsfundamentalnorm juga kurang sepenuhnya tepat, karena syarat untuk dapat disebut sebagai grundnorm menurut Hans Kelsen harus transcendental logical presupposition. Nah bagian inilah yang membingungkan dari konstruksi logika Hans Kelsen. Istilah transcendental yang dalam bahasa Indonesia menjadi transendensi itu berhubungan dengan dunia metafisika. Artinya wilayah tersebut tidak dapat dijangkau dengan panca indera atau abstrak. Padahal ide dari hukum positifnya Hans Kelsen adalah membebaskan diri dari pandangan yang berusaha mengaitkan keberlakuan norma hukum dari sumber yang bersifat supranatural, seperti dari Tuhan atau Hukum Alam (Asshiddiqie, 2021, h. 48).
Keanehan logika itulah sampai Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa pandangan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tentang hierarki norma banyak mengandung paradoks. Satu sisi Hans Kelsen mengimpikan suatu teori murni tentang hukum (pure theory of law) namun di sisi yang lain dengan menyebutkan grundnorm sebagai transcendental logical presupposition yang berarti grundnorm bersifat tidak tertulis dan abstrak, yang harus kita percayai bahwa dia hadir begitu saja sebagai warisan hukum alam, yang pada akhirnya kita sebut sebagai metafisis (Asshiddiqie, 2021, h. 48). Kembali kepada pertanyaan apakah proklamasi sifatnya tidak tertulis dan abstrak sehingga dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai grundnorm? Jelas bahwa proklamasi ada teks tertulisnya, sehingga proklamasi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai grundnorm.
GRUNDNORM MERUPAKAN PENERAPAN HUKUM KAUSALITAS
Sampai di sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa grundnorm itu susah untuk dipadankan. Hal tersebut sangat wajar karena Hans Kelsen sendiri sebagai pencetus ide grundnorm tidak pernah memberikan padanan grundnorm dengan konstitusi atau sesuatu hal tempat dia pernah tinggal (tercatat beliau pernah tinggal di Austria dan Amerika). Dengan demikian sebaiknya kita juga tidak perlu mencari padanan grundnorm di Indonesia.
Menurut saya yang lebih penting adalah kita dapat memahami konstruksi logika dari grundnorm itu sendiri. Bagi saya logika yang ingin dibangun oleh grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah penerapan dari hukum kausalitas (hukum sebab-akibat). Hans Kelsen menyebutkan bahwa grundnorm merupakan suatu sebab yang menjadi validitas berlakunya norma yang lebih rendah.
Apa itu hukum kausalitas? Hukum kausalitas adalah hukum yang menyatakan bahwa segala sesuatu/akibat itu ada sebabnya. Bagi orang yang bernalar sehat maka memahami hukum sebab-akibat ini sangat mudah. Hukum sebab-akibat merupakan hukum universal yang kebenarannya diakui oleh seluruh manusia yang berakal sehat. Misalnya saja, anda pasti akan meyakini bahwa tulisan yang sedang anda baca saat ini ada yang membuatnya. Jika akal anda sehat, anda tidak akan mungkin mengatakan tulisan ini ada dengan dirinya sendiri. Tulisan ini hadir sebagai akibat yang disebabkan oleh seorang penulis. Tulisan ini hadir dihadapan anda sebagai akibat dan Muhammad Farid Alwajdi sebagai penyebab hadirnya tulisan tersebut. Universalitas hukumnya adalah di mana ada sebab pasti ada akibat, ataupun sebaliknya di mana ada akibat pasti ada penyebabnya. Sangat mudah memahami hukum ini.
Logika ini sering dipakai oleh orang yang menekuni Ilmu Kalam. Ilmu Kalam adalah ilmu yang dikenal dalam filsafat islam yang berguna untuk membahas keberadaan Tuhan dengan argumen yang rasional. Mengapa keberadaan Tuhan harus dibuktikan dengan argumen yang rasional? salah satu jawabannya adalah karena kita tidak mungkin membuktikan keberadaan Tuhan dengan panca indera, namun dengan akal (dengan argumen rasional) kita dapat meyakini keberadaan Tuhan itu memang ada.
Demikian, saya juga meyakini bahwa Hans Kelsen dalam membangun teori jenjang norma (stufenttheorie) yang berpuncak pada grundnorm di atas mendasarkan teorinya pada logika sebab-akibat. Hal tersebut saya simpulkan karena banyaknya kemiripannya dengan hukum kausalitas.
Pertama, dari segi penerapannya sebagai berikut: Dalam teori hierarki norma (stufenttheorie) kita belajar bahwa setiap norma hukum yang berlaku itu ada penyebabnya atau ada yang mevalidasi berlakunya suatu norma tertentu. Sebab berlakunya suatu norma tertentu tersebut dijawab adanya norma yang lebih tinggi; demikian seterusnya sampai kepada suatu sebab yang paling tinggi. Sebab paling tinggi inilah yang disebut Hans Kelsen sebagai grundnorm. Dengan asumsi demikian saya meyakini bahwa teori hierarki norma yang dibangun oleh Hans Kelsen dibangun dengan mengadopsi hukum sebab-akibat. Tentu itu hanya asumsi, yang dapat menjawab dengan pasti hanyalah Hans Kelsen itu sendiri.
Kedua, dari pernyataan Hans Kelsen sendiri menyatakan bahwa grundnorm itu sebagai transcendental logical presupposition (Kelsen, 1967, h. 201). transcendental atau transendensi dalam bahasa Indonesia itu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya metafisika atau suatu hal yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Sedangkan logical presupposition adalah anggapan yang logis. Dengan kata lain, izinkan saya mengartikan transcendental logical presupposition sebagai suatu hal yang abstrak-tidak dapat diindera-namun dapat diterima oleh nalar. Adakah contohnya sesuatu yang tidak dapat diindera namun keberadaannya dapat diterima oleh akal/nalar? Ada, contohnya keberadaan Tuhan. Ketika kita mendapati pertanyaan apakah Tuhan itu benar-benar ada? Panca indera kita (mata) tidak akan mampu melihat Tuhan namun keberadaan Tuhan dapat dibuktikan dengan akal.
Salah satu argumen yang digunakan untuk membuktikan keberadaan Tuhan dengan akal adalah: Bahwa alam ini dari tidak ada menjadi ada. Berarti alam ini dari tidak ada menjadi ada pasti ada yang mengadakan. Nah yang mengadakan itulah disebut sebagai Tuhan. Karena Tuhan disebut sebagai penyebab segala sesuatu yang ada di alam ini maka dia dinamakan “sebab tertinggi”; “sebab dari segala sebab”; musabibul asbab; atau causa prima. Jika anda belajar Ilmu Kalam maka anda akan mendapati tulisan-tulisan yang menyebutkan bahwa Tuhan itu bukan Allah namun Tuhan adalah Sebab Tertinggi. Kenapa demikian? karena tujuan dari ilmu kalam adalah mencari kebenaran keberadaan Tuhan lewat argumentasi rasional bukan lewat wahyu yang dibawa para nabi.
Kembali kepada grundnorm, ketika Hans Kelsen mengatakan grundnorm sebagai suatu hal yang sifatnya itu transcendental tapi dapat diterima oleh nalar sebagai logical sense (Kelsen, 1967, h. 226). Saya jadi teringkat hukum kausalitas di atas, sehingga berkesimpulan bahwa Hans Kelsen seolah ingin mengatakan bahwa keberadaan grundnorm memang abstrak?yang tidak mampu ditangkap oleh panca indera?namun akal sehat kita pasti meyakini bahwa segala sesuatu itu butuh sebab. Nah sebab paling utama atau sebab superior dalam pandangan Hans Kelsen disebut grundnorm.
Hans Kelsen ingin membangun suatu logika yang mengatakan bahwa norma yang lebih rendah itu pasti bersumber (bersebab) kepada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih rendah ada sebagai akibat dari suatu sebab norma yang lebih tinggi. Dalam bahasa Hans Kelsen keberlakuan norma lebih rendah tersebut mendapatkan daya laku atau validitasnya dari norma yang lebih tinggi. Logika tersebut berpuncak kepada validitas terakhir/tertinggi yaitu grundnorm, sebagai norma tertinggi atau sebab tertinggi dalam dunia hierarki norma hukum.
Oleh karena itu saya berkesimpulan, cara paling mudah memahami grundnorm adalah dengan mengatakannya sebagai suatu SEBAB TERTINGGI. Pertanyaaan yang patut kita renungkan kemudian adalah adakah Sebab Tertinggi di alam semesta ini kecuali Tuhan?
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, bukan pendapat dari institusi tempat penulis bekerja.