Mempertahankan Demokratisasi dalam Negara Hukum
Nehru Asyikin
Alumni Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Angkatan 2010
Negara hukum di Indonesia sesuai dengan batasan konstitusi memperkenalkan dirinya sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) yaitu, negara Indonesia adalah negara hukum.
Pada ruang demokrasi, rechtstaat (negara hukum) bukan machstaat (negara kekuasaan) semata-mata agar kekuasaan tidak meluluskan segala cara untuk mencapai Visi dan Misi dari seorang penguasa yang dipilih melalui demokrasi elektoral (Presiden dan Wakil Presiden) atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diberikan wewenanng (authority) dari UUD 1945.
Pengalaman bernegara yang telah dilalui dari Indonesia merdeka tahun 1945 sampai dengan sekarang (Pasca Reformasi) melahirkan ide sentral jikalau bangsa ini harus memasukkan norma-norma yang membatasi kekuasaan di dalam konstitusi itu sendiri dengan menitikberatkan pada tindakan dan kewenangan penguasa agar sejalan dengan pemerintah berdasarkan hukum, adanya peradilan administrasi, pengakuan hak-hak asasi manusia, pembagian dan pembatasan kekuasaan (F.J. Stahl) dengan bersandar pada proses-proses pembentukan hukum yang demokratis.
Sebagai jaminan bernegara hukum itu, secara tidak langsung memberikan pemahaman yang cukup luas namun meyakinkan kita jika rakyat harus berpandangan bahwa kekuasaan itu cenderung sewenang-wenang maka harus ada batasan tertulis agar rakyat dapat mempertahankan hak-hak konstitusionalnya atau dapat menjadi bahan kritik apabila hak-hak konstitusionalnya dirugikan, maka konstitusi yang menjamin jika kedaulatan itu ada di tangan rakyat dan dijalankan menurut UUD 1945 bukan hanya sebatas narasi tetapi pada hakikatnya kekuasaan menempatkan rakyat sebagai objek hukum yang harus disejahterakan, dilindungi, dibahagiakan dan diberikan rasa aman atau Salus Populi Suprema Lex Esto yaitu, kesejahteraan atau keselamatan rakyat harus menjadi hukum tertinggi.
Rezim-rezim yang pernah berkuasa selalu memfokuskan pada pembangunan di segala aspek, baik itu di bidang ekonomi, infrastruktur ataupun membangun Sumber Daya Manusia (SDM). Namun terkadang, meskipun tindakan legislatif dan eksekutif yang dilakukan sudah berdasarkan hukum namun dalam prosesnya nilai-nilai negara hukum yang demokratis serasa terasingkan (alienasi) bahkan tidak pernah melibatkan masyarakat dalam tiap prosedur pembahasan undang-undang.
Persoalan yang sering sekali terjadi dalam bernegara hukum selalu menimbulkan pertanyaan, negara hukum yang seperti apa idealnya bagi Indonesia?. Sebetulnya konfigurasi politik Indonesia yang sudah memilih sistem demokrasi dalam aspek segala pengambilan keputusan di tangan legislatif sebagai pembuat undang-undang dan eksekutif sebagai lembaga yang menjalankan undang-undang cenderung tidak terpenuhinya 2 (dua) unsur dalam batasan teoritis yang lazimnya agar terpenuhi nilai-nilai demokrasi dalam pembentukan setiap peraturan perundang-undangan itu bukan hanya sebagai syarat tetapi lebih kepada kebutuhan berdemokrasi. Pertama, secara prosedural. Kedua, secara substantif.
Secara prosedural meminjam pemikirannya Mahfud MD (2017: 7) memaparkan, produk hukum yang dihasilkan dari konfigurasi politik demokrasi mengharuskan lembaga pembentuk undang-undang (DPR) dan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang diberikan hak untuk mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk melibatkan semua elemen masyarakat, baik akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para ahli di bidangnya sebagai syarat agar terpenuhinya partisipasi rakyat secara efektif.
Namun demikian, partisipasi masyarakat tidak hanya sebatas mendengarkan (pasif) atau kehadirannya di persidangan hanya sebatas simbolis tetapi ikut menganalisa isi substansi, memberikan pertanyaan sebagai haknya untuk memastikan kepentingan masyarakat dapat terbawa dalam isi peraturan, sehingga dengan melibatkan dalam pengambilan keputusan diharapkan hak-hak konstitusionalnya dapat terwakilkan.
Sama halnya dengan aspirasi rakyat sebagai syarat lainnya, yaitu menerima masukan-masukan dari seluruh elemen masyarakat yang harus dilibatkan dalam pembahasan RUU sampai pembahasan apabila RUU sudah melalui proses pembahasan.
Sayangnya, dalam pembahasan RUU yaitu pada tahap pembicaraan tingkat I di DPR yang dilakukan panitia kerja dalam bahasan berisi tanggapan seluruh fraksi atas usulan RUU dari pemerintah ataupun dari DPR tidak pernah terbuka bagi masyarakat dan wartawan.
Padahal, dalam pembahasan RUU inilah meskipun kiranya masyarakat tidak dilibatkan namun harusnya dapat terbuka dan disiarkan melalui media elektronik atau diliput oleh wartawan agar seluruh masyarakat dapat melihat langsung pembicaraan yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat tersebut, apakah sudah sesuai dengan keinginan rakyat atau cenderung pada kepentingan kelompok semata.
Menurut Saifudin (2009: 201) dalam disertasinya, pada masa sekarang ini sudah waktunya dipikirkan bahwa rapat-rapat Panitia Kerja dilakukan secara terbuka. Dengan adanya transparansi pada rapat Panitia Kerja ini, masyarakat dapat secara langsung mengikuti proses pembahasan UU yang pada akhirnya akan diberlakukan pada masyarakat itu sendiri.
Tentu ini menjadi evaluasi jika pada tahap pembahasan RUU masyarakat harus dilibatkan agar aspirasinya dapat tersalurkan. Di sinilah sebetulnya masyarakat ikut mengawasi langsung keputusan yang diambil agar tidak menimbulkan pertentangan dengan tujuan UUD yang sejalan dengan negara hukum yang demokratis.
Kemudian secara substantif, berdasarkan pengalaman pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 yang dilakukan sebanyak 4 (empat) tahap dari tahun 1999 dalam sidang umum I (satu) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sampai dengan sidang tahunan ke-IV (empat) MPR tahun 2002 seluruh fraksi yang terlibat dalam pembahasan itu menyepakati jika materi muatan konstitusi harus bersifat limitatif, yakni membatasi muatannya agar tidak memberikan peluang penafsiran luas yang nantinya menimbulkan perdebatan karena dapat ditafsirkan/penjelasannya berbeda-beda oleh pemerintah atau pada hirearki peraturan perundang-undangan hal ini bisa menimbulkan efek domino jika UUD dapat ditafsirkan luas, peraturan yang berada di bawahnya akan cenderung sama atau bahkan menghasilkan produk hukum yang kurang mapan atau parahnya bisa menghasilkan produk hukum represif atau ortodoks. Hal ini cenderung akan menimbulkan kekuasaan yang otoriter seperti Pasal 7 sebelum UUD 1945 di amandemen bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dan memang frasa tersebut dapat ditafsirkan secara luas dan tidak membatasi kekuasaan sehingga kekuasaan itu dapat dipertahankan dalam waktu yang tidak ditentukan tanpa adanya batasan waktu (temporary).
Jika disederhanakan pada batas-batas konstitusi saja, persoalan tersebut disebabkan karena tidak jarangnya suatu hukum berasal dari format politik (penulis memberi contoh undang-undang) yang notabene tidak mencerminkan rasa dan kehendak rakyat bahkan ironi merugikan hak-hak konstitusional rakyat. Hal tersebut disinyalir kurang cermatnnya pada proses pembentukan undang-undang yang telah melupakan asas preferensi (lex superior derograt legi inferior) di mana undang-undang wajib berlandaskan peraturan di atasnya yakni UUD NRI 1945.
Artinya pembentukan peraturan perundang-undangan di setiap kehidupan bermasyarakat harus berlandaskan hukum, sebab hukum yang di terbitkan kemudian terkotakan dalam bidang-bidang kehidupan bernegara. Setiap kehidupan masyarakat, hukum telah mengatur setiap hak maupun kewajibannya secara langsung. Keberadaan hukum itu untuk menjamin kegiatan masyarakat dapat berjalan sesuai dengan aturan hukum yang didasari pada pengetahuan/pemahaman hukum.
Apabila sedikit menyinggung ke arah produk hukum adalah hasil dari proses politik dan kehendak politik (political will), tentu tidak menutup kemungkinan sarat akan politik transaksional dari para pembentuknya. Pada bagian ini, secara prosedur dan substantsi ternyata menjadi keharusan bagi pembentuk undang-undang dan penyelenggara negara untuk selalu melibatkan masyarakat dan membuka informasi seluas-luasnya terhadap pers untuk meliput pembicaraan-pembicaraan di dalam pembahasan RUU agar politik transaksional dapat dicegah sehingga tentunya dapat melahirkan produk hukum yang mewakili kepentingan rakyat.