Menanti Agenda Penegakan Hukum Presiden
Akbar Asmar
Mahasiswa & Anggota Lantern Law Community FH UAD
Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin telah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada (20/09/19). Saatnya Presiden mewujudkan janji-janji kampanye yang selama ini digemakan pada masyarakat, tidak terkecuali agenda penegakan hukum (Law enforcement). Kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini bisa dibilang sangat memprihatinkan, hal tersebut dapat terliha dari data yang dirilis Legal Round Table (ILR). Bawa Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) turun. 2018 turun 0,06 persen dibadingkan INHI 2017. Dari skor sebelumnya 5,85 turun menjadi skor 5,79.
Beberapa Persoalan Penegakan Hukum
Penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan dengan baik dan begitu memprihatinkan. Permasalahan penegakan hukum selalu bertendensi pada ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan das sein. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai persoalan kasus besar yang belum tuntas,
Pertama, Undang-Undang KPK hasil revisi yang berpotensi melemahkan KPK. Beberapa hal yang dimuat dalam UU hasil revisi yang berpotensi melemahkan KPK diantaranya, ditempatkannya KPK dibawah pemerintah, yang mana hal ini berpotensi merampas independensi dari KPK itu sendiri. Kemudian dilucutinya sejumlah kewenangan KPK terkait penyidikan dan penuntutan, keberadan Dewan Pengawas yang kewenagannya masuk kedalam ranah teknis perkara, yaitu Memberikan atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan.
Kedua, Kasus kriminalisasi terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang tak kunjung menemukan titik terang. Meskipun Presiden telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) namun dalam kenyataanya tak membuahkan hasil apa-apa. Banyak kalangan menilai ketidakjelasan kasus Novel dilatarbelakangi oleh tekanan dari kekuatan politik tertentu.
Ketiga, Banyaknya kasus pelanggaran HAM berat yang tak terselesaikan. Mulai dari kasus pelanggaran HAM 1965, peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti 1998, peristiwa Semanggi I 1998 dan peristiwa Semanggi II 1999, kasus peristiwa Talangsari 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.
Sejak tahun 2002 silam, Komnas HAM sudah menyerahkan berkas pelanggaran HAM 1965 bersama delapan berkas pelanggaran berat lainnya ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Kedelapan kasus lainnya adalah: peristiwa penembakan misterius (Petrus) 19821985, peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti 1998, peristiwa Semanggi I 1998 dan peristiwa Semanggi II 1999, kasus peristiwa Talangsari 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.
Selain itu, Komnas HAM menyerahkan tiga berkas kasus pelanggaran berat HAM di Aceh untuk diproses lebih lanjut oleh Kejaksaan Agung, yakni kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA, dan kasus Rumah Geudong yang diserahkan sepanjang periode 2017-2018.
Namun, berkas-berkas perkara tersebut dikembalikan kembali oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM. Kejaksaan Agung beralasan bahwa berkas perkara tidak memenuhi persyaratan formil dan materiil. Jika dipaksakan untuk dilanjutkan ke proses penyidikan penyidik- dalam hal ini Kejaksaan Agung – akan kesulitan mengumpulkan bukti-buktinya.
Padahal, seperti yang kita ketahui bersama, telah ada payung hukum yang menyatakan penyelesaian kasus HAM berat dapat dilakukan melalui jalur pengadilan Ad Hoc, seperti diamanatkan di Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, setelah melewati pergantian beberapa kali pemerintahan di era Reformasi, hal ini urung terlaksana. (Update Indonesia 9/19)
Langkah Konkrit
Sebagai bentuk langkah konkrit Presiden untuk menyelesaikan persoalan penegakan hukum di Indonesia, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan Presiden. Pertama, Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) guna mencabut UU KPK hasil revisi. Perppu dapat menjadi jawaban untuk mengakomodasi aspirasi rakyat yang menolak materi muatan perubahan kedua UU KPK. Dengan demikian, aturan-aturan yang dapat menghadang KPK dalam memberantas korupsi dapat kembali dipulihkan, sehingga masyarakat makin percaya terhadap keseriusan Presiden dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kedua, Presiden harus secara tegas dan komitmen untuk mengungkap pelaku dari kasus kriminalisasi terhadap Novel Baswedan, tidak hanya dengan membentuk TGPF. Jika memang penyelesaian kasus Novel akan menimbulkan conflict of interest, selaku kepala Negara Presiden harus mengambil sikap politik yang tegas, agar publik percaya dan meyakini bahwa Presiden memang berkomitmen untuk menyelesaikan kasus Novel.
Ketiga, Penyelesaian kasus pelanggaran HAM 1965 maupun kasus-kasus lainnya, melalui jalur Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia, harus terus diupayakan oleh Presiden. Oleh karena itu, upaya Pemerintahan Jokowi-KH Ma’ruf Amin untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu secara berkeadilan dengan rekonsiliasi harus didahului dengan pengungkapan kebenaran. Pengungkapan kebenaran tersebut harus dilakukan secara transparan kepada publik. Kedepan presiden harus berani mengungkap kronologis hingga pelaku yang dianggap bertanggung jawab terkait peristiwa pelanggaran HAM tersebut.
Dengan langkah kongkrit yang diamblil Presiden, maka publik akan semakin yakin dan percaya bahwa dalam periode kedua kepemimpinannya Presiden Jokowi memang punya komitmen untuk memperbaiki kualitas penegakan hukum di Indonesia.