“MENILIK PASAL KONTROVERSI PADA PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”
Bima Abimayu
Mahasiswa Semester IV FH UAD dan
Sekretaris Divisi Kriminologi & Penologi CCLS
Pendahuluan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau biasa dikenal dengan PERPPU secara general, adalah hak prerogatif Presiden selaku kepala negara dan juga pemangku kekuasaan tertinggi pemerintah untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa, hak prerogatif ini tertuang dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu berada sejajar/setara dengan UU setelah UUD 1945. Frasa “dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa“ merupakan terjemahan dari noodverordeningsrecht, ada dua kata didalam istilah tersebut yakni nood dan ordenen, nood mengandung arti bahaya atau darurat sedangkan ordenen berarti mengatur atau menyusun. Secara harfiah noodverordeningsreht dapat diartikan peraturan hukum untuk mengatur keadaan bahaya/darurat. Menurut penjelasan UUD 1945, perppu perlu diadakan agar keselamatan negara dapat dijamin pemerintah dalam keadaan yang genting.
Dengan demikian, tahapan penerbitan perppu dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pertama, adanya situasi bahaya atau situasi genting. Kedua, situasi tersebut dapat mengancam keselamatan negara jika pemerintah selaku representasi masyarakat tidak secepatnya mengambil tindakan konkret. Ketiga, akibat situasi tersebut dibutuhkan tindakan pemerintah secepatnya dikarenakan apabila menunggu mekanisme oleh DPR memerlukan waktu yang lama. Akan tetapi ketentuan yang mengatur secara detail mengenai kondisi kegentingan yang memaksa didalam peraturan perundang-undangan tidak ada sehingga perppu sewaktu-waktu dapat diselewengkan fungsinya oleh Presiden yang berkuasa untuk kepentingan kekuasaannya dalam waktu sesaat sebelum adanya pembahasan di tingkat DPR.
Saat ini, Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menimpa negara-negara di dunia mengakibatkan penyusutan perekonomian secara global. Indonesia mengambil keputusan untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tentu saja, pembatasan kegiatan masyarakat dalam rangka pemutusan mata rantai covid-19 tersebut berimplikasi melemahnya aktifitas dunia usaha. Bahkan tidak dapat dipungkiri, akibat pandemi ini banyak pelaku usaha yang harus gulung tikar dan terpaksa memberhentikan pekerjanya.
Pemerintah menanggapi keadaan ini sebagai hal ikhwal kepentingan yang memaksa berdasarkan pernyataan World Health Organization (WHO), dengan menetapkan regulasi untuk mengatur stabilitas keuangan negara yang terdampak pandemi. Pengaturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Sejak dikeluarkannya, perppu ini menuai berbagai tanggapan oleh seluruh lapisan masyarakat baik dari pengamat hukum, ekonomi, politik, maupun masyarakat umum. Beberapa masyarakat memberikan tanggapan positif karena perppu ini menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah untuk memulihkan instabilitas ekonomi nasional. Namun tak sedikit para ahli, pakar hukum, dan pengamat konstitusi yang mengecam keberadaan perppu ini terutama terhadap ketentuan pasal 27 yang seakan memberikan impunitas bagi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Bahkan, keresahan atas perppu tersebut dihadirkan melalui pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini dikarenakan pasal 27 perppu tersebut menegaskan beberapa ketentuan. Pertama, mengenai ketentuan kerugian negara. Kedua, KSSK tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Ketiga, tindakan/keputusan berdasarkan Perppu tersebut bukan merupakan objek Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pembahasan
Analisa Yuridis Pasal 27 ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2020
Pertama “ketentuan kerugian negara”, pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/ atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam pasal ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan Pemerintah/ KSSK dikategorikan sebagai biaya ekonomi bukan merupakan “kerugian negara”. definisi Kerugian negara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara pasal 1 angka 22 berbunyi: “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Apabila kita telaah kembali norma yang terkandung pada pasal 1 angka 22 UU No.1 Tahun 2004 mengandung arti bahwa tidak semua kondisi berkurangnya uang, surat berharga, dan barang milik negara dinyatakan sebagai kerugian negara.
Kondisi tersebut harus merupakan akibat dari suatu perbuatan melawan hukum untuk dapat dikategorikan sebagai kerugian negara. Ketentuan dari pasal 27 ayat (1) tersebut seolah ingin melegitimasi bahwa setiap biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah/KSSK bukan merupakan kerugian negara, lantas bagaimana ketika biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/ atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan menimbulkan sebuah kerugian yang nyata dari akibat perbuatan melawan hukum, tentu saja dengan penekanan yang terdapat di pasal tersebut memberikan wewenang yang seluas-luasnya dalam mengeluarkan biaya dalam melangsungkan kebijakan sebagaimana dimaksudkan. Dan sudah barangtentu menimbulkan kemungkinan adanya penyelewengan dalam pelaksanaannya, yang berakibat pada kerugian negara.
Kedua, “kerugian negara” adalah salah satu unsur tindak pidana korupsi, haruslah merupakan implikasi dari perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi atau kerugian negara tersebut akibat penyalahgunaan kewenangan secara melawan hukum dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dengan dimaknainya seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah / KSSK bukan merupakan kerugian negara, maka akan menghilangkan salah satu unsur penting dalam tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…”.
Slenajutnya, untuk membahas unsur delik suatu tindak pidana perlu kita ketahui dulu perbedaan istilah bestandeel dan element, kedua istilah tersebut dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai unsur. Element adalah unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tindak pidana, baik tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan bestandeel adalah unsur perbuatan pidana yang dituliskan secara expressiv verbis tertuang dalam suatu rumusan delik. Van Bemmelen dan Van Hattum berpendapat bahwa tidak semua unsur-unsur yang disinggung oleh ketentuan pidana dijadikan sebagai unsur mutlak. Dengan kata lain tidak semua unsur pidana bersifat kumulatif, ada juga unsur-unsur delik bersifat alternatif, unsur dari pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, kesatu, Setiap orang; kedua, secara melawan hukum; ketiga, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; keempat, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Agar dapat dikatakan seseorang melakukan sebuah tindak pidana korupsi maka harus terpenuhinya semua unsur tersebut. Akan tetapi unsur ketiga dan keempat bersifat alternatif (pilihan). Oleh sebab itu, dalam unsur keempat diantara keuangan negara atau perekonomian negara, merupakan pilihan yang harus dibuktikan salah satunya saja tidak harus dibuktikan keduanya agar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Begitu juga dengan pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara….”.
Akan tetapi dengan penekanan yang terdapat di Pasal 27 ayat (1) seolah melindungi Pemerintah/KSSK apabila terjadi penyalah gunaan wewenang dalam melakukan tugasnya. Pemerintah seolah ingin menafikkan bahwa dalam menjalankan roda pemerintahan Indonesia memiliki tiga poros kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan melakukan check and balance satu sama lain. Dikeluarkannya perppu karena hal ikhwal yang mendesak yang membutuhkan tindakan konkret sehingga dikeluarkannya regulasi yang mampu mewadahi setiap kebijakan pemerintah, akan tetapi tidak menafikkan kekuasaan lainnya, perlu adanya acuan muatan yang jelas dalam pembentukan perppu.
Analisa Yuridis Pasal 27 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020
Pasal 27 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020, berbunyi: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pemberian imunitas dalam Pasal 27 ayat (2) sama halnya dengan pemberian imunitas pada UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPSK, UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampuan Pajak, Pasal 50 KUHP yang berbunyi: “bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana.” Dan Pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi: “bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, maka orang tersebut tidak dapat dipidana.” Yang dimana seluruh pemberian imunitas tersebut tidak mutlak (absolute), selama berdasarkan itikad baik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku memang tidak dapat dituntut pidana, akan tetapi tidak melegitimasi kedudukan imunitas yang diberikan, apabila terbukti melakukan sebuah tindak pidana dalam pelaksanaan kebijakan maka dapat dilakukan penuntutan terhadap perbuatan tersebut, berdasarkan kesimpulan Moeljatno yang menganut aliran dualistis bahwa syarat penjatuhan pidana meliputi perbuatan melawan hukum (actus reus) dan unsur kesalahan pembuat (mens rea), apabila actus reus telah terpenuhi maka sudah dapat dilakukan penuntutan, penuntut umum dapat melanjutkan ke tahapan persidangan yakni poses pembuktian, terkait mens rea akan dilakukan pembuktikan di persidangan sebagai dasar penjatuhan putusan oleh hakim. Ketentuan tersebut sebagai pengejawantahan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Pemberian imunitas tiada lain ditujukan untuk perlindungan hukum pagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya akan tetapi tidak serta-merta membuat pejabat pemerintahan kebal akan hukum positif.
Penutup
Hemat penulis, agar selaras dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, yang mengandung arti segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatur menurut hukum yang berlaku yakni dengan cara. Pertama, perlu adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan norma pada Pasal 27 ayat (1) Perppu No. 1 Tahun 2020 terkait ketentuan mengenai kerugian negara, sehingga Pemerintah/KSSK tidak melegitimasi seluruh kebijakan pembiayaan yang dikeluarkan bukan kerugian negara, karena dikhawatirkan dilakukan penyelewengan yang berakibat terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Kedua, pembentukan Perppu perlu diatur dengan detail jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan, agar terwujud suatu mekanisme kontrol yang lebih baik dalam pembentukan Perppu.