PENEGAKAN HUKUM: DILEMA PENEGAK HUKUM DALAM MENCIPTAKAN KETERTIBAN
Khairul Ikmam
Mahasiswa FH UAD Angkatan 2022
Hakikat Hukum
Hukum pada hakikatnya merupakan perilaku manusia itu sendiri, melekat dalam lingkup sejarah, sosial dan budaya yang dijalani manusia. Karena pada dasarnya hukum memiliki sifat interdisipliner tidak dapat dipisahkan dengan keadaan di mana dia hidup. Hukum hidup dalam tiap perilaku manusia maka dari itu dia tidak bisa dilepas dari kehidupan sosialnya. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Cicero, bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum atau dalam bahasa latinnya disebut sebagai ubi societas ibi ius. Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa hukum hidup dengan masyarakat dan bahkan kita bisa mengatakan bahwa hukum itu adalah masyarakat itu sendiri. Sebagaimana juga dikatakan oleh Von Savigny seorang mazhab sejarah bahwa hukum itu adalah jiwa bangsa, dalam artian hukum merupakan bagian daripada kebudayaan dan kepribadian bangsa.
Definisi hukum sampai hari ini masih dicari pengertiannya, hal ini dikemukakan secara jelas oleh Immanuel Kant bahwa tidak ada seorang yuris pun yang mampu membuat definisi hukum secara tepat dengan segala ruang lingkup yang dipunyai oleh hukum. Sedang Van Apeldoorn juga mengemukakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi hukum karena sangat sulit atau tidak mungkin untuk memberikannya definisi sesuai dengan kenyataan yang ada. Dipertegas kembali oleh Apeldoorn bahwa definisi hukum seringkali bersifat menyamaratakan. Namun perlu diingat bahwa rumusan hukum yang dapat memuat segala segi memanglah tidak mungkin dilakukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum itu terlalu luas untuk diberikan definisi yang konkret, sehingga kemudian bisa dipastikan bahwa hampir mustahil untuk memberikan definisi hukum secara konkret dengan segala ruang lingkupnya.
Sebagai pintu masuk untuk memahami hukum di masa modern ini adalah bahwa hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Hukum itu merupakan aturan tertulis yang mengikat masyarakat yang dipaksakan oleh pemerintah yang berkuasa disertai sanksi bagi yang melanggar aturan tersebut. Namun hukum tidak sebatas itu saja seperti yang telah dikemukakan oleh hukum modern, masih ada hukum lagi yang tidak tertulis yang hidup dan diakui oleh masyarakat namun tidak dilegalisasi oleh pemerintah, seperti hukum adat, hukum kebiasaan dan hukum agama. Oleh karena itu, di samping ada hukum tertulis ada juga hukum yang tidak tertulis sebagaimana hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum itu untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Maka sudah sewajarnya hukum itu melayani manusia sebaik-baiknya untuk menciptakan ketertiban sebagai salah satu bentuk tujuan daripada hukum. Tujuan hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah untuk menciptakan ketertiban di satu sisi dan keadilan di sisi yang lain. Hal ini relevan dengan tujuan hukum seperti yang telah dikemukakan Aristoteles bahwa tujuan hukum semata-mata adalah keadilan. Satjipto menegaskan bahwa hukum memiliki tiga fungsi yakni, pembuatan norma-norma, penyelesaian sengketa-sengketa dan menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, terutama adanya perubahan yang signifikan dalam masyarakat. Melihat hal tersebut, maka nampak jelas bahwa hukum itu disajikan atau diperuntukkan untuk manusia bukan sebaliknya, manusia yang dipersembahkan untuk hukum. Oleh karena demikian, hukum dibuat adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan bagi masyarakat.
Ringkasnya sudah jelas bahwa hukum itu dipersembahkan untuk melayani masyarakat dalam menciptakan ketertiban. Akan tetapi, masih terdapat masalah yang substansial, yakni ketertiban seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Karena kemudian masih ada dilema dalam penegakan hukum, yaitu dengan berpatokan kepada kepastian undang-undang di satu sisi dan pada sisi yang lain melihat kenyataan yang ada di masyarakat dengan pertimbangan kemanfaatannya. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab dilema dalam penegakan hukum tersebut dalam menciptakan ketertiban.
Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum (Rahardjo, 2009). Tujuan hukum yang dimaksud mengandung prinsip moral yaitu keadilan yang sudah seharusnya keadilan tersebut diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, karena eksistensi hukum itu sendiri dapat diakui keberadaannya apabila benar-benar diimplementasikan. Menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional inti dan makna penegakan hukum itu terletak pada kegiatan menserasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak penegak hukum sebagai penjabaran nilai tahap akhirnya, guna menciptakan, memelihara dan mempertahankan keadilan dan ketertiban.
Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah seharusnya seluruh energi dikerahkan agar hukum mampu bekerja mewujudkan ide-ide atau konsep tentang keadilan dan kemanfaatan sosial. Kegagalan hukum dalam mewujudkan ide-ide atau konsep itu menandakan bahwa hukum sudah tidak mampu untuk mencapai tujuannya. Karena pada dasarnya menurut Satjipto Rahardjo hukum tidak dapat lagi disebut hukum apabila hukum tidak pernah dapat dilaksanakan. Maka daripada itu, hukum yang miskin implementasi terhadap ide-ide atau konsep tentang keadilan dan kemanfaatan sosial yang terkandung di dalamnya akan terisolasi atau berjarak dengan masyarakatnya. Sehingga menyebabkan hukum tidak berhasil untuk memelihara dan menciptakan ketertiban.
Seperti apa yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa hukum tidak bisa dilepas dari kehidupan masyarakat telah membuktikan bahwa hukum tidak hanya bekerja dalam dunia rasio dan ide-ide saja yaitu undang-undang namun juga realitas masyarakat sehari-hari. Akhirnya seringkali terjadi ketegangan antara keduanya disamping untuk menjaga kepastian hukum yang terdapat dalam undang-undang di sisi yang berbeda untuk memelihara ketertiban sosial di dalam ruang lingkup masyarakat maupun penegak hukum. Ketegangan tersebut diakibatkan karena berbedanya prinsip yang terdapat dalam undang-undang dengan kenyataan masyarakat.
Maka dari itu, hukum dalam wujudnya sebagai peraturan tidak dapat melakukan semuanya. Oleh karena itu dalam hal ini penegak hukum berperan dalam mewujudkan tujuan hukum. penegakan hukum tentunya membutuhkan instrumen untuk menjalankan hukum tersebut dalam menciptakan ketertiban, yakni dengan adanya petugas hukum seperti advokat, jaksa, hakim dan polisi maka akan membantu merealisasikan tujuan hukum yaitu ketertiban. Dalam menegakkan hukum petugas-petugas hukum tersebut mempunyai prosedur tersendiri, akan tetapi mereka tidak dapat berjalan sendirian dan hanya mengandalkan dirinya sendiri, karena selalu berinteraksi dengan lingkup sosialnya yang lebih besar. Sehingga kemudian dalam menjalankan hukum petugas-petugas hukum tersebut selalu berinteraksi dengan petugas hukum yang lain.
Semenjak hukum modern digunakan, peradilan bukan lagi tempat untuk menciptakan dan mencari keadilan, akan tetapi tidak lebih hanya menjadi lembaga yang hanya terpaku pada aturan main dan prosedur hukum. Sehingga masyarakat semakin sulit untuk mengakses pengadilan dikarenakan semakin rimbunnya prosedur yang terdapat dalam hukum. Lembaga peradilan yang semulanya ditujukan untuk mencari dan menciptakan keadilan menjadi hutan yang sangat rimbun dengan prosedur-prosedur. Oleh karena itu, semakin sulit masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan ketertiban oleh hukum.
Kendala dan ketegangan yang dialami oleh hukum dalam menciptakan ketertiban tersebut menjadi rumusan masalah tulisan ini, yakni untuk merefleksi nilai dari masing-masing ketertiban yakni ketertiban hukum dan ketertiban sosial. Apakah kemudian kita hanya akan fokus kepada ketertiban yang diberikan oleh hukum dengan segala prosedurnya dan kepastian hukumnya ataukah menjadikan keduanya sebagai patokan untuk membantu menciptakan dan memelihara ketertiban sosial dan hukum sekaligus guna menciptakan ketertiban yang sejati. Oleh karena itu, penegak hukum pada dasarnya menjadi kunci utama dalam menciptakan ketertiban yang sejati tersebut.
Dilema Penegak Hukum dalam Menciptakan Ketertiban
Ketertiban merupakan keadaan dimana dalam kehidupan masyarakat serba teratur dan tercipta rasa aman. Namun penulis mengangkat tema bahwa ada dilema oleh penegak hukum dalam menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Di satu sisi ada ketertiban hukum, adalah ketertiban yang dapat timbul di masyarakat dengan memperhatikan dan menjamin kepastian hukumnya. Dalam artian hanya melaksanakan apa yang tertuang dalam materi muatan peraturan perundang-undangan. Sehingga kemudian menimbulkan konsekuensinya, yakni belum tentu akan menimbulkan ketertiban sosial yang membawa rasa aman dalam masyarakat. Sedangkan di sisi lain yakni ketertiban sosial, adalah ketertiban yang pada dasarnya tertanam dalam masyarakat, yang menitikberatkan pada kemanfaatan daripada adanya hukum. Oleh karena itu, dilema oleh penegak hukum dalam menciptakan ketertiban sejati adalah antara melaksanakan kepastian hukum yaitu ketertiban hukum atau justru kemanfaatan terhadap masyarakat sebagai bentuk ketertiban sosial.
Refleksi hukum ini dilakukan oleh penulis guna memperjelas kembali eksistensi daripada ketertiban hukum dan ketertiban sosial yang dimaksudkan untuk mengkaji ulang pemahaman mengenai ketertiban hukum dan ketertiban sosial apakah keduanya harus berdampingan dan saling melengkapi untuk menciptakan ketertiban yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat. Pada realitanya masih ada ketegangan dan kendala dalam mencapai tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban sejati. Oleh karena demikian, penegak hukum sudah seharusnya menghapus dilema di antara keduanya yakni mempertahankan ketertiban hukum dan menghiraukan ketertiban sosial atau sebaliknya yakni mempertahankan ketertiban sosial dan meninggalkan ketertiban hukum. Atau dengan mengambil jalan tengah yaitu dengan mempertimbangkan keduanya untuk mencapai ketertiban yang sejati.
Ketertiban hukum adalah ketertiban yang menitikberatkan terhadap terjaminnya kepastian hukum, namun kita ketahui bersama aturan yang terdapat dalam hukum terlalu kaku dan bisa saja memiliki potensi kriminogen yaitu mengkriminalisasi masyarakat. Oleh karena itu, karena kemudian hukum dipandang hanya berjalan secara lurus dalam pelaksanaannya, artinya hanya melaksanakan undang-undang semata dengan menjaga kepastian hukumnya maka kemudian akan menghasilkan ketertiban yang kaku juga yang hanya terpaku kepada undang-undang yang belum tentu menciptakan ketertiban sosial di masyarakat yakni dengan adanya rasa aman dan tidak timbul keresahan terhadap hukum.
Melihat realitas empirisnya, masyarakat itu selektif akan ketertiban yang diberikan oleh hukum. Adakalanya masyarakat takut ketika berhadapan dengan petugas hukum seperti kepolisian karena dianggap sebagai ancaman dan membahayakan bagi mereka. Oleh karena itu, ketertiban yang diinginkan masyarakat sebenarnya adalah ketertiban yang menimbulkan rasa aman dan tidak menimbulkan keresahan bagi mereka. Maka dari itu, penting sekali bagi penegak hukum atau petugas hukum seperti polisi merefleksi hukum guna menciptakan ketertiban sejati yakni dengan mempertimbangkan kemanfaatan bagi masyarakat umum baik dalam ranah kebijakan ataupun saat dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum ditengah-tengah masyarakat.
Maka kemudian ketertiban sosial hanyalah mimpi belaka untuk dicapai jika kita hanya mengandalkan kepastian hukum. Ketertiban hukum itu condong dengan adanya aturan yang kaku. Jika ketertiban hukum justru mengakibatkan keresahan di masyarakat, maka perlu selektif oleh penegak hukum terhadap kebijakan dan aturan yang terdapat pada undang-undang dengan mempertimbangkan ketertiban sosial disamping melaksanakan ketertiban hukum. Kesalahan dalam mengkonsepsi hukumlah yang kemudian menjadi hambatan terciptanya ketertiban yang sejati.
Penegak hukum di sini menjadi kunci utama dalam membantu menciptakan ketertiban yang dimaksud, entah itu ketertiban hukum maupun ketertiban sosial, karena pada dasarnya, penegak hukumlah yang menjalankan hukum yang rimbun dengan peraturan. Penegak hukum seharusnya juga selektif dalam menjalankan hukum mempertimbangkan mana sekiranya yang tidak sejalan dengan ketertiban sosial jika ketertiban dalam hukum yang begitu rimbun dengan aturan dan segala prosedurnya. Dalam mencapai ketertiban yang sejati maka kemudian disamping penegak hukum mempertimbangkan kepastian hukum, juga melihat kenyataan nilai yang terdapat di masyarakat selaku aspek untuk mencapai ketertiban sosial.
Jalan tengah untuk menciptakan ketertiban sejati adalah penegak hukum yang lebih mempertimbangkan kedua ketertiban yang dimaksud. Yakni dengan mempertimbangkan secara seimbang, dimana disamping memperhatikan kepastian hukum untuk menciptakan ketertiban hukum juga memperhatikan secara seksama nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai langkah dalam menciptakan ketertiban sosial. Hasil pertimbangan dari kedua ketertiban tersebut adalah jaminan dalam menciptakan ketertiban sejati.
Maka kemudian dapat kita uraikan sedikit kesimpulan bahwa dalam menciptakan ketertiban yang sejati penegak hukum menjadi instrumen utama untuk membantu mencapainya. Penegak hukum disamping melaksanakan aturan yang terdapat dalam undang-undang yang kaku dan rimbun dengan prosedur maka juga diwajibkan untuk memperhatikan aspek sosial yang terdapat dalam kenyatan dalam masyarakat guna mempertimbangkan keseimbangan antara keduanya dalam menciptakan ketertiban sejati yang didambakan masyarakat.