Perempuan dan Hukum ; Legal Theory Feminist Sebagai Sarana dalam Menciptakan Sistem Hukum yang Bersukma Keadilan
Ramdan Mahatma Rahantan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Angkatan 2016
Plato seorang filsuf Yunani kuno pernah mengatakan, ‘perempuan adalah bayi yang bertubuh besar’, ungkapan tersebut mungkin sering kita dengar ketika mengikuti diskusi-diskusi filsafat. Ungkapan di atas merupakan salah satu cerminan budaya patriarki, dimana laki-laki ada dalam posisi dominasi dan memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dan perempuan hanya akan tampil dalam bentuk anasir yang sangat memilukan. Iklan-iklan dan sponsor di media-pun ikut andil dalam menjadikan tubuh perempuan sebagai pemikat para konsumen untuk mengumpulkan keuntungan. Sementara laki-laki selalu dikonstruksi sebagai sosok yang ideal, kuat, pemberani, tegas, mandiri, berwibawa, agresif, superior, dominan, rasional, pintar, dan dapat beraktivitas di ranah publik. Sementara perempuan ideal adalah perempuan baik-baik, menjadi sosok pengikut, penurut, pemalu, cenderung pasif, lemah lembut, sabar dan malu-malu secara seksual.
Secara tradisional, hukum seringkali berasal konstruksi paradigma patriarki, karena karakter umum dari pembentukan hukum seringkali tidak didasarkan pengalaman perempuan dan perumusanya lebih kepada pemberian kuasa untuk menekan orang lain, termasuk terhadap perempuan. Hukum cenderung berpihak pada kelompok dimana ideologi dan budaya patriarki tersebut berasal, misalnya dalam hukum perkawinan, perceraian, hingga pemerkosaan menurut konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan pada sisi ekonomi dan pendidikan, Robert Jackson & George Sorensen menyatakan, perempuan hanya memiliki 1% properti dunia dan mewakili 60% dari buta huruf di dunia.
Mirisnya, tindakan peminggiran terhadap perempuan tersebut telah menjadi kebiasaan masyarakat yang dibelenggu oleh kesalahan-kesalahan berpikir ‘intellectual cul-de-sach’ (Jalaluddin Rakhmat, 1999; Hal. 4). Yang menempatkan perempuan hanya sebagai pelengkap kepentingan laki-laki (subordinasi) dan peminggiran dari dunia pendidikan, politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lain sebagainya. Sehingga sukma hukum yang di anggap sebagai suatu instrumen yang digerakan untuk menghasilkan keadilan dan kemanfaatan hukum, serta sebagai kesatuan sistem pengetahuan yang menjawab kesenjangan sosial belum bisa diwujudkan dengan semestinya. Sehingga dengan adanya realitas tersebut, kemudian melatarbelakangi gerakan feminisme sebagai sarana dalam menciptakan sistem hukum yang bersukma keadilan.
Feminist dalam berbagai kamus sering diartikan sebagai kata benda (noun) atau kata sifat (adjective) yang dikaitkan dengan kata feminism. Dalam Merriam Webster’s Dictionary and Thesaurus, feminist merupakan kata sifat (adjective) dari feminism yang berarti, (1) teori tentang kesetaraan politik, ekonomi dan sosial berdasarkan jenis kelamin, (2) aktivitas yang diorganisir atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan. Gloria Steimen, seorang aktivis feminist Amerika dalam mendefinisikan feminist menyatakan bahwa, feminist adalah seorang baik perempuan atau laki- laki, yang percaya penuh pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik (Esmirelda, medium.com/femirelda/sesatpikir-tentang-feminisme-36339d704fa2, akses 05 November 2019).
Dalam kaitan antara feminist dan sistem hukum, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto mengemukakan bahwa, teori feminist perlu dikembangkan, hal ini didasarkan atas pertimbangan, Pertama, untuk menganalisis produk hukum yang bias gender dan juga bias klas, baik peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim. Penjelasan demikian sejalan dengan Data yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang mencatat hingga tahun 2013 terdapat 342 (tiga ratus empat puluh dua) Peraturan Daerah yang bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Keadaan diskriminatif tersebut merupakan kebiasaan subordinasi yang masih banyak dipertahankan oleh sebagian daerah di Indonesia, subordinasi merupakan kondisi dimana perempuan ditempatkan pada posisi subordinat (lebih rendah) dari laki-laki yang terjadi di ruang privat ataupun publik.
Kedua, menganalisis praktik penerapan hukum. Khususnya dalam praktik sistem peradilan pidana, kasus pemerkosaan yang korbanya adalah perempuan, ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh hakim tentang kronologis tindakan pemerkosaan tersebut. Ia terpaksa mengulas dan menerangkan kembali tentang peristiwa detik-detik saat dimana harga dirinya direndahakan, yang menurut akal sehat hal tersebut tidak wajar dan sangat traumatik bagi korban (perempuan). Kondisi demikian dalam kajian feminist disebut sebagai stereotype, yang mana asumsi bahwa perempuan berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotype tersebut sehingga menimbulkan anggapan negatif bahwa yang menjadi penyebab perempuan dilecehkan secara seksual adalah akibat kesalahan perempuan itu sendiri.
Ketiga, memberikan rekomendasi dan advokasi untuk tujuan reformasi hukum. (Mahesa, www.berdikarionline.com/pentingnya-hukum-yang-punya-prespektif-feminis/, akses 07 November 2019. Demikian dapat disimpulkan feminisme adalah gagasan yang mendorong paradigma hukum baru yang berkesetaraan gender dengan tujuan membongkar sirkulasi kejahatan terhadap perempuan. Dan feminisme juga dapat dijadikan sebagai alat teropong untuk melakukan eksaminasi produk pengadilan (dakwaan dan putusan) maupun peraturan perundang-undangan yang masih berisikan ketidakadilan yang sulit dipahami dan diketahui apabila menggunakan teori lain.
Dan terakhir, feminisme merupakan gerakan resonansi dengan dalil kritisisme terhadap kegagalan pemerintahan dalam menjawab permasalahan keadilan, adapun jauh sebelum itu, pada masa renaissance, Thomas More hadir dengan pemikiran susunan pemerintahan di pulau yang tidak dikenal atau utopia, yang melukiskan suatu negara imaginer dengan susunan masyarakat yang sempurna (Arinanto dan Triyani, 2011: hal.10). Gagasan utopia tersebut dimaksudkan sebagai kritik terhadap suasana kehidupan masyarakat Inggris yang dihantam oleh badai ketidakadilan yang terjadi pada saat itu, khususnya untuk kaum bangsawan dan kaum adikuasa lainnya yang memengang kedaulatan Kerajaan Inggris.
Sejalan dengan hal tersebut, harapan kedepannya kebijakan hukum (legal policy) dapat sesuai dengan nilai-nilai imaginer yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan bintang kepemimpinan (leistart) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, kenyataanya masih sangat sulit dan belum mampu diwujudkan. Hal tersebut didasarkan atas produk hukum yang masih menampilkan potret injustice terhadap perempuan dikarenakan pembetukan peraturan perundang-undangan di parlemen selalu dominasi oleh laki-laki yang kemudian memungkinkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang dalam perumusan dan pembentukan pearturan perundang-undangan, sehingga pengalaman perempuan tidak menjadi pertimbangan dalam perumusan suatu norma hukum. Akibatnya, hukum yang ditimbulkan adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin.
Berdasarkan status quo yang disampaikan, maka tidak dapat diniscayakan bahwa teori hukum feminist adalah bagian dari usaha pembangunan sistem hukum nasional dengan tujuan memperjuangkan kesetaraan yang berkeadilan dan dalam kaitanya dengan perempuan sebagai seorang manusia, sudah seharusnya dipertimbangkan kebutuhan dan pengalamanya sebagai suatu sistem nilai yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial yang kemudian dijadikan sebagai basis nilai dalam membentuk dan membangun sistem hukum.
Demikian uraian pembahasan persosalan di atas, terdapat tiga hal yang menjadi ikhtiar dan dapat rekomendasikan yaitu, Pertama, Komnas Perempuan dilibatkan dalam perumusan dan penyusunan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kedua, bias kesetaraan gender yang sering terjadi di tingkat daerah, memungkinkan adanya affirmative action dengan mensyaratkan dua kursi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) harus berasal dari golongan perempuan dari empat orang perwakilan anggota DPD yang mewakili rakyat daerah. Ketiga, menambahkan Mata Kuliah ‘Legal Theory Feminist’ dalam kurikulum Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan sebagai mana yang telah dilakukan di Perguruan Tinggi lainnya di Indonesia.