PERLUASAN ASAS LEGALITAS FORMIL KE ASAS LEGALITAS MATERIIL DALAM KUHP NASIONAL: KONTROVERSI SERTA EKSISTENSINYA
Khairul Ikmam
Mahasiswa FH UAD Angkatan 2022
Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang boleh dilakukan, dilarang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan (Moeljatno, 2008).
Asas adalah sebuah konsep yang sangat mendasar dalam hukum, yang digunakan sebagai dasar dalam menentukan hukum. Hukum pidana merupakan salah satu cabang hukum yang mempunyai asas sentral yakni asas legalitas. Asas yang kemudian menentukan bahwa tidak ada perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana jika tanpa terlebih dahulu termaktub dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan apa yang kemudian telah dirumuskan oleh von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang memiliki arti bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan pidana.
Oleh Feuerbach konsep asas legalitas tersebut dibagi menjadi tiga konsep besar yakni yang Pertama, nulla poena sine lege yang berarti bahwa setiap penjatuhan hukuman atau sanksi haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana. Kedua, nulla poena sine crimine yang artinya bahwa suatu penjatuhan sanksi hanya dapat dilakukan apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman dalam undang-undang pidana. Ketiga, nullum crimen sine poena legali, yang artinya bahwa perbuatan yang telah diancam dengan hukuman apabila dilanggar maka kemudian akan berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang termaktub dalam undang-undang terhadap yang melanggar.
Esensinya asas legalitas ingin mengatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tanpa terlebih dahulu ada dalam peraturan perundang-undangan. Dalam artian harus ada undang-undang terlebih dahulu untuk menentukan apakah perbuatan yang dimaksud termasuk kepada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Yang menurut Sudarto bahwa tidak ada suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Asas legalitas yang dianut oleh Indonesia dalam KUHP Nasional yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa “tidak seorangpun dapat dipidana atau dikenakan pidana, kecuali perbuatan tersebut telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.
Bertitik tolak dari uraian di atas dapat dikemukakan, yakni bahwa asas legalitas merupakan asas yang menitikberatkan terhadap kepastian hukum. Namun pada dasarnya jika sudah terdapat kepastian belum tentu akan menjumpai keadilan di akhirnya. Hal ini selaras dengan apa yang telah dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa kepastian dan keadilan akan selalu sering untuk bertolak belakang dan tidak sejalan.
Asas legalitas yang telah kita bicarakan di atas mengarahkan kepada konteks asas legalitas formil yang kemudian mengalami perluasan dalam KUHP Nasional yang mengakomodasi hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law sebagai asas legalitas materiil. Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional menyatakan bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Pasal inilah yang kemudian menjadi konsep asas legalitas materiil sebagai pelengkap asas legalitas formil. Dengan ketentuan bahwa seseorang dapat dipidana walaupun tidak diatur dalam undang-undang dengan menggunakan hukum yang hidup yang tidak bertentangan dengan HAM maupun UUD NRI 1945.
Perluasan Asas Legalitas Formil Ke Materiil
KUHP Nasional merupakan rekodifikasi peraturan hukum yang dijadikan sebagai lex generalis, tujuan dari pembentukan KUHP Nasional sejalan dengan semangat dekolonisasi sehingga memasukkan unsur yang hidup dalam masyarakat sebagai ketentuan penuntutan sebagai karakteristik kodifikasi hukum pidana Indonesia. Dalam pembaharuan KUHP asas legalitas mengalami perluasan dari asas legalitas formil kepada asas legalitas materiil dengan memberi tempat pada hukum tidak tertulis yang telah dibatasi oleh perumus KUHP sebagai delik adat, yang kemudian menjadi dasar atau sumber patut dipidananya suatu perbuatan meskipun sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang terlebih dahulu.
Asas legalitas sering dilihat sebagai konsep absolut yang dianggap benar sehingga secara formil dianggap sebagai representasi daripada keadilan. Namun hal ini merupakan hal yang terlalu dipaksakan dan berlebihan, konsekuensi dari paradigma ini adalah dengan menganggap hukum sebagai undang-undang yang pada nyatanya kaku. Paradigma formalistik seperti ini menimbulkan kehadiran keadilan yang kaku dan sempit, keadilan yang tidak mewakili semua hak-hak masyarakat, pelaku maupun korban. Maka dari itu, muncul pandangan yang menggali asas legalitas dalam sudut penggalian norma yang hidup di masyarakat, guna mewujudkan keadilan yang sejati yang memperhatikan hak-hak masyarakat secara keseluruhan, pelaku maupun korban. Hal ini kemudian senada dengan Sri Rahayu yang mengatakan bahwa, penentuan tindak pidana harus didasarkan tidak hanya pada asas legalitas formal melainkan juga asas legalitas material. Jelas bahwa kini tidak hanya terdapat asas legalitas formal akan tetapi juga asas legalitas materiil.
Asas legalitas formil merupakan perwujudan dari nilai kepastian yang dicangkokkan oleh Indonesia. Sementara Indonesia sudah lebih dulu ada kepastian hukumnya sendiri yang telah hidup lama dalam masyarakatnya. Namun tidak selalu dirumuskan dan tertulis sebagaimana yang diinginkan oleh asas legalitas formil. Terdapat lima alasan yang dijadikan sebagai landasan perluasan asas legalitas formal ke asas legalitas materiil, diantaranya dengan adanya kajian komparatif, kesepakatan seminar-seminar nasional, landasan teoritik, kebijakan legislatif nasional, kesepakatan dokumen dunia (Fadlillah dkk, 2022: 507)
Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional mengatur tentang asas legalitas formil menghendaki adanya peraturan sebelum perbuatan yang dimaksud terjadi, dengan menunjukkan asas kepastian hukum. Yang diakibatkan dengan adanya undang-undang sebagai penjatuhan pidana. Sedang dalam Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional yang mengakui secara eksplisit eksistensi hukum pidana adat sebagai unsur delik dalam pasal. Perluasan makna asas legalitas ini sejalan dengan pokok pikiran perumus KUHP Nasional untuk mengimplementasikan kepentingan masyarakat yang berkeadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan salah satu patokan formil sementara itu keadilan digambarkan sebagai materilnya seperti yang telah dikemukakan oleh Sidharta. Perluasan asas legalitas dari formil ke materil dilakukan dengan menggali nilai-nilai hukum adat agar mampu menyelesaikan kejahatan yang lebih dekat dengan masyarakat guna mencapai keadilan sejati daripada hukum.
Perluasan terhadap asas legalitas materiil akan menimbulkan konsekuensi tersendiri apabila kemudian dihadapkan dengan asas legalitas formil yang pada dasarnya memiliki kedudukan yang sangat fundamental dalam hukum pidana untuk menentukan perbuatan mana yang akan dapat dipidana. Oleh karena demikian sangat penting bagi kita untuk mengetahui konsekuensi daripada asas legalitas materiil dan eksistensinya atas pemberlakuan asas legalitas materiil.
Kontroversi Serta Eksistensi Perluasan Asas Legalitas Formil Ke Materil
Pemberlakuan hukum yang hidup di masyarakat selaku asas legalitas materiil menimbulkan konsekuensi tersendiri yang berpotensi timbulnya kontroversi terhadap asas legalitas formil sebagai asas fundamental dalam hukum pidana Indonesia. Salah satu kontroversi asas legalitas materiil, yakni akan menghilangkan makna asli dari hukum yang hidup di masyarakat, karena kemudian hukum yang hidup tersebut akan dikodifikasikan dalam perda. Sehingga eksistensi hukum yang hidup berubah menjadi hukum tertulis yang kaku. Kontroversi lainnya yakni akan menimbulkan ketidakpastian hukum, jika kemudian asas legalitas materiil akan diimplementasikan karena pada kenyataannya masih belum ada ketentuan yang jelas mengenai hukum acaranya. Apakah kemudian akan dihukumi dengan pengadilan negeri atau pengadilan adat.
Perluasan terhadap asas legalitas formil ke asas legalitas materiil yaitu untuk menjadikan hukum yang hidup sebagai dasar penuntutan pidana. Hukum yang hidup tersebut diberikan batasan oleh perumus KUHP Nasional bahwa dapat dijadikan dasar penuntutan pidana jika perbuatan yang terdapat dalam hukum adat tersebut belum diatur dalam undang-undang, ha; ini seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional. Selain itu juga harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) KUHP Nasional bahwa hukum adat yang dimaksud tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD NRI 1945, hak asasi manusia dan asas-asas hukum umum yang kemudian telah ada di masyarakat. Hal ini dimaksudkan guna mencapai keadilan yang didamba oleh masyarakat bahwa tidak hanya perlindungan terhadap pelaku kejahatan namun juga terhadap korban.
Eksistensi ditetapkannya perluasan asas legalitas dari formil ke materiil tersebut dimaksudkan untuk memelihara hukum yang telah hidup lama di masyarakat. Hal ini ditujukan untuk memberikan keseimbangan terhadap hukum positif dengan konsepsinya hukum yang hidup tersebut. Pembatasan terhadap hukum yang hidup tersebut dikerucutkan menjadi hukum adat. Namun eksistensi asas legalitas materiil menimbulkan kontroversi tersendiri sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya. Oleh karena dikerucutkan makna daripada hukum yang hidup, artinya hukum yang hidup memiliki cakupan yang sangat luas bisa meliputi hukum kebiasaan dan hukum agama. Karena demikian, pembatasan hukum yang hidup menjadi hukum adat tersebut dilakukan untuk mengurangi keambiguan dalam memberikan makna terhadap hukum yang hidup dalam Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional. Hukum adat tersebut akan dikodifikasi dalam Peraturan Daerah (perda) untuk dijadikan sebagai dasar penuntutan pidana, dengan syarat hukum adat yang akan dikodifikasi dalam perda tersebut belum diatur dalam undang-undang dan tidak bertentangan dengan Pancasila, HAM, UUD NRI 1945 dan asas-asas hukum umum dimasyarakat.
Eksistensi disatu sisi diterapkannya asas legalitas materiil yaitu menjadi asas penyeimbang, dimana yang diperhatikan tidak hanya soal memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan, namun juga terhadap korban. Lebih memperhatikan nilai keadilan dan tidak hanya kepastian undang-undang. Sedang disisi lain asas legalitas materiil juga menjadi asas alternatif, dimana sejauh perbuatan melawan hukum yang dimaksud tidak diatur dalam undang-undang maka hukum adat sebagai kerucutan dari hukum yang hidup yang telah dikodifikasi dalam perda dipakai untuk menjadi dasar untuk menuntut pidana.
Asas legalitas materiil ini dapat memiliki kekuatan sebagai dasar pemidanaan hanya ketika sudah diatur dalam Peraturan Daerah (perda). Dalam artian, asas legalitas materiil dapat menjadi dasar penuntutan pidana jika kemudian sudah terkodifikasi dalam perda dengan memenuhi syarat yang sudah terakumulasi dalam Pasal 2 ayat (2) KUHP Nasional yang menyatakan bahwa “tempat hukum itu hidup sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab”. Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan batasan kepada eksistensi hukum yang hidup yang dimaksud di atas sebagai hukum adat.
Setelah memahami uraian di atas dapat kita tarik garis lurus dari tulisan ini, yakni bahwa asas legalitas yang dirumuskan dalam KUHP Nasional sudah diperluas dari yang sebelumnya asas legalitas formil Pasal 1 ayat (1) KUHP Nasional yang fokus utamanya adalah tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang. Menjadi asas legalitas materiil Pasal 2 ayat (1) KUHP Nasional disamping menjadi asas alternatif juga menjadi asas penyeimbang dan hanya dapat digunakan sebagai dasar pemidanaan jika hukum yang hidup yang dikerucutkan menjadi hukum adat oleh perumus KUHP Nasional tersebut sudah diatur dalam Peraturan Daerah (perda). Namun, eksistensi diperluasnya asas legalitas formil ke materiil memberikan kontroversi menghilangkan makna asli daripada hukum yang hidup sebagai hukum yang tertanam dalam tubuh secara serta merta di masyarakat menjadi hukum tertulis dengan dikodifikasikannya dalam perda. Dan akan mengurangi kepastian hukum karena kemudian pengaturan tentang bagaimana cara pemidanaannya tidak diatur secara jelas, entah melalui pengadilan negeri atau justru pengadilan adat.