Responsivitas Lembaga Peradilan dalam Pemenuhan Keadilan Hukum bagi Masyarakat Melalui E-Court
Vivi Lutfia
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Angkatan 2016
Revolusi industri 4.0 merupakan era dimana berbagai kehidupan mengalami transformasi yang ditandai dengan kemampuan manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas berbasis teknologi. Salah satu implementasi teknologi tersebut bahkan sudah menyentuh ranah Kekuasaan Kehakimam. Hal ini terlihat pada Lembaga Peradilan yang menghadirkan e-Court sebagai wujud The Electronic Justice System dalam rangka perbaikan sektor hukum dan politik di Indonesia. E-Court sendiri adalah inovasi sekaligus wujud komitmen dari Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam mewujudkan reformasi di dunia peradilan Indonesia (Justice reform) yang mensinergikan peran teknologi informasi (IT) dengan hukum acara (IT for Judiciary).
Sebelum adanya e-Court, proses peradilan dilakukan secara manual. Dalam pelaksananya, lembaga peradilan saat itu justru mengalami beberapa kendala kompleks antara lain proses penyelesaian sengketa yang lambat, biaya beracara yang mahal, pengadilan dianggap kurang responsif dalam penyelesaian perkara, sehingga putusan cenderung tidak mampu menyelesaikan masalah, serta terjadi penumpukan perkara di tingkat Mahkamah Agung. Hingga akhirnya, pada pertengahan tahun 2018 e-Court hadir dan mulai dioperasikan.
Secara yuridis dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) terdapat asas bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Esensi dari klausula ini mengartikan bahwa seluruh peradilan di Indonesia harus diadakan secara efektif dan efisien guna mengatasi kendala dan hambatan dalam proses penyelenggaraan peradilan. Keberlanjutan regulasi mengenenai e-Court secara spesifik diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik serta peraturan pelaksana lainnya.
Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas penegakan dan penerapan hukum yaitu faktor hukumnya sendiri, penegak hukumnya, sarana dan fasilitas, serta faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku diterapkan (Soerjono Soekanto, 1983). Kemudian, Suparman Marzuki menyatakan bahwa penegakan hukum dipengaruhi oleh 4 (empat) hal, yaitu legal substance (substansi hukum), legal structure (aparat penegak hukum), legal culture (budaya hukum), dan legal infrastructure (sarana prasarana).
Dalam implementasi e-Court, sarana dan prasarana menjadi pembahasan krusial karena apabila tidak memadahi maka akan berimplikasi pada tidak terpenuhinya keadilan bagi masyarakat. E-Court sebagai legitimasi dari asas penyelengaraan peradilan masih memerlukan pembaharuan dalam hal infrastruktur. Responsivitas dari lembaga peradilan untuk menangani problematika pemenuhan keadilan masyarakat menjadi hal yang urgen. Hal ini bertujuan agar acces to justice dapat terbuka lebar bagi pemenuhan keadilan hukum masyarakat.
Problematika Pemenuhan Keadilan Masyarakat di Era Kemajuan Tekhnologi
Dalam mengkaji antara pemenuhan keadilan dan kemajuan teknologi, hal yang menjadi landasan adalah asas penyelenggaran peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan serta persoalan infrastruktur. Pertama, penegakan hukum pada proses peradilan haruslah sederhana dan dapat diikuti oleh para justitiabellen. Namun, di era mobilitas masyarakat yang tinggi saat ini, implementasi asas sederhana justru cenderung rumit. Jumlah perkara yang banyak hingga jadwal sidang yang tidak tepat waktu menjadi persoalan serius bagi tidak terlaksananya tertib administratif peradilan.
Kedua, proses peradilan pada prinsipnya dilaksanakan secara cepat. Akan tetapi asas tersebut belum dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini terlihat pada salah satu tindakan Mahkamah Agung dalam mempercepat penyelesaian perkara adalah melalui pembacaan serentak oleh majelis yang sudah dimulai sejak tahun 2013. Apabila hal tersebut terus dilakukan tentu akan semakin menambah tenaga mengingat jumlah perkara hukum tidaklah sedikit.
Ketiga, peradilan harus di selenggarakan dengan biaya yang ringan. Masalah biaya pada nyatanya masih menjadi penghambat bagi penegakan keadilan hukum di masyarakat. Merilis catatan Ombudsman pada periode 2014-2015, laporan pungli di pengadilan ini menempati urutan ke-6 terbanyak yang diadukan masuk ke Ombudsman.
Keempat adalah problematika infrastruktur yang belum memadai bagi pelaksanaan pemenuhan keadilan hukum bagi masyarakat di era kemajuan teknologi. Persoalan infrastruktur yang dimaksud dalam hal ini meliputi: minimnya akses penyelesaian perkara di pengadilan, jarak dan jangkauan dalam mencapai lembaga peradilan, serta terbatasnya jumlah peradilan dalam setiap wilayah di Indonesia.
Eksistensi E-Court dalam Mewujudkan Keadilan Hukum bagi Masyarakat
E-Court pada hakikatnya hadir untuk menjawab persoalan pemenuhan keadilan bagi masyarakat di era kemajuan teknologi. Hal tersebut didasarkan pada kontribusi atas eksistensi e-Court dari awal pertama diimplementasikan. Pertama, e-Court menyediakan layanan berbasis elektronik seperti pendaftaran perkara online (e-Filing), pembayaran panjar biaya perkara online (e-Paymen), pemanggilan pihak secara online (e-Summons), persidangan secara elektronik (e-Litigation), serta putusan secara online.
Kedua, e-Court sebagai kolaborasi pemenuhan keadilan dan tekhnologi pada realitasnya perlu dioptimalkan. Pernyataan tersebut didasarkan pada belum meratanya implementasi e-Court di Indonesia. Saat ini, jumlah peta layanan e-Court baru ada pada peradilan umum, peradilan agama, dan tata usaha negara Artinya, sejauh ini pelayanan e-Court hanya dapat diakses bagi perkara tertentu saja dan terdapat beberapa peradilan yang belum terintegrasi dalam pelayanan e-Court.
Ketiga, pengguna layanan e-Court untuk saat ini hanya terbatas untuk kalangan Advokat saja. Kondisi ini berbeda dengan Singapura yang sudah menerapakan sistem layanan peradilan berbasis elektronik (e-Court) lebih awal. Praktik peradilan di Singapura lebih maju dengan mengajukan permohonan dan mengakses data peradilan, dimana setiap warga negara Singapura yang telah memiliki SingPass ID bagi individu atau CorpPass ID bagi badan hukum tentu saja harus menggunakannya apabila akan berperkara di pengadilan.
Eksistensi e-Court yang baru diterapkan satu tahun lalu tentunya membawa kemajuan bagi sistem peradilan Indoneisa. E-Court sendiri hadir sebagai pengejawantahan asas penyelenggaraan peradilan di era kemajuan tekhnologi. Terlepas dari hal tersebut responsivitas lembaga peradilan masih diperlukan dalam upaya perbaikan dan penyempurnaan e-Court. Hal ini semata-mata bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat.
Wujud Responsivitas Lembaga Peradilan dalam Mengoptimalkan e-Court
E-Court merupakan inovasi bagi perbaikan sektor hukum dan politik di era kemajuan teknologi guna memperjuangkan pemenuhan keadilan masyarakat. Persoalan keadilan di era kemajuan teknologi realitasnya belum bisa dihindari terlebih belum terpenuhinya asas penyelenggaraan peradilan dan minimnya infrastruktur penunjang pelaksanaan peradilan. Eksistensi lembaga peradilan yang seharusnya dapat menjawab problematika tersebut dituntut untuk melakukan perbaikan baik dari registrasi dan administrasi melalui. berbaikan dan penyempurnaan e-Court.
Berangkat dari uraian persoalan pemenuhan keadilan di era tekonologi yang di korelasikan dengan eksistensi e-Court, penulis merekomendasikan beberapa langkah strategis sebagai tindakan responsivitas lembaga peradilan meliputi; Pertama perbaikan infrastruktur dengan penyediaan layanan e-Court secara merata di seluruh wilayah peradilan di Indonesia melalui perbaikan dan perluasan internet networking. Kedua, penyempurnaan akasesbilitas layanan e-Court di semua jenis peradilan untuk mempermudah proses registrasi dan adminitrasi berperkara. Ketiga, mengadakan sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat terutama yang masih awam hukum sehingga tidak hanya advokat saja yang dapat menikmati layanan e-Court. Dengan demikian diharapkan pemenuhan keadilan hukum bagi masyarakat dapat direalisasikan melaui e-Court.