Respon Pakar Terhadap KUHP Baru: Paradigma Baru dalam Pemidanaan
Munculnya Undang-Undang Nomor 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membawa perubahan mendasar dalam kebijakan hukum pidana di Indonesia, menanggapi hal ini pada Pertemuan Nasional Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia (Fordek FH dan STIH PTM) yang dilenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FH UAD) pada 21 Juni 2023 membuat seminar nasioal bertemakan “Sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru” dimoderatori oleh Mufti Khakim, S.H., M.H selaku Dosen Hukum Pidana FH UAD dengan dua narasumber yaitu Dr. Chairul Huda, S.H., M.H selaku Dosen Hukum Pidana FH Universitas Muhammadiyah Jakarta sekaligus Tim Perumus KUHP Nasional dan Prof. Dr. Tongat, S.H., M.Hum. selaku Dosen Hukum Pidana FH Univesitas Muhammadiyah Malang sekaligus Ketua Fordek.
Chairul Huda menyebutkan urgensi hukum pidana yang merupakan cerminan peradaban dan jati diri suatu bangsa dengan 4 (empat) misi penting yakni; merdeka, demokratis, tertib, dan responsif. “Merdeka menjadi gagasan utama dalam KUHP Nasional ini yaitu untuk membangun sistem hukum pidana sendiri berdasarkan pada kepribadian bangsa Indonesia. Salah satunya tercermin dengan adanya pengaturan Tindak Pidana Khusus, hal itu diatur dengan alasan banyaknya korban, perbuatannya menyimpang dari asas hukum materiil, serta terdapat penegakan hukum tersendiri. Misi demokrasi yang dibangun bertujuan agar negara menjadi demokrasi. Tertib dalam KUHP Nasional dibentuk dengan konsolidasi di bidang hukum pidana, dan responsive dengan tujuan adaptasi dan harmonisasi hukum pidana” katanya.
Disisi lain, Tongat lebih menyoroti konsep dalam criminal act dan criminal responbility yang berubah dari pandangan monistis menjadi dualistis. Menurutnnya, konstruksi monistis mensyarakatkan ada nya criminal act dan criminal responbility, sedangkan pandangan dualistis tidak memisahkannya. “Kedua pandangan tersebut memiliki kesamaan dalam pemidanaan. Implikasi dari pergeseran paradigma ini yaitu pada unsur-unsur pidana. Unsur Tindak Pidana dalam pandangan monistis ialah perbuatan manusia; diancam dengan pidana; perbuatan melawan hukum; dilakukan dengan kesalahan serta mampu bertanggungjawab, sedangkan Unsur Tindak Pidana dalam pandangan duslistis ialah adanya perbuatan manusia; memenuhi rumusan dalam Undang-Undang; serta bersifat melawan hukum” Pungkasnya.
Di lain kesempatan, pandangan terhadap perubahan paradigma monistis ke dualitas juga dibenarkan oleh pakar hukum pidana FH UAD, Kurnia Dewi Anggraeny, S.H., M.H. (22/06/2023) yang lebih menyoroti peranan hakim lebih besar dalam menentukan bentuk kesalahan. “Penyidik dan Penuntut Umum harus mampu membuktikan actus reus dalam suatu tindak pidana tanpa memandang kesalahan pelaku, artinya mereka hanya terfokus pada unsur delik semata.” pungkasnya.
Untuk itu memang proses sosialiasi terhadap KUHP baru lebih massif, tidak hanya pada dunia akademisi tetapi juga para penegak hukum. Hal ini disampaikan oleh Gilang Qomariyah Amarta, S.H., M.H. selaku pakar pidana dari FH UAD. Peran sosialisasi yang tidak massif akan membawa gagal paham dalam penegakan hukum pidana melalui paradigma baru ini, penegak hukum harus mampu untuk menyesuaikan delik materiil saja atau diperlukan pembuktan dalam kerangka perbuatan atau tindak pidana. “Dengan demikian, sosialisasi ini diharapkan dapat dilakukan secara komprehensif dan sustainable sehingga berjalannya KUHP baru dapat lebih maksimal tanpa ada kekeliruan tafsir terhadapnya” ungkap dosen muda yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya ini. (IYI)