DIALOG DAMAI SEBAGAI SOLUSI MENYELESAIKAN KEKERASAN DAN PELANGGARAN HAM DI PAPUA
Andi Muh Ikram Alqivari
Mahasiswa FH UAD Angkatan 2022
Kekerasan Di Nduga Papua
Kekerasan terus terjadi di Papua sampai detik ini, bahkan aparat keamanan menjadi salah satu bagian rantai kekerasan yang terjadi di Papua. Beberapa contoh konflik yang terjadi di daerah Papua, seperti yang terjadi di daerah Nduga, juga aksi-aksi aparat keamanan telah menunjukkan tindakan kekerasan yang memakan korban di kalangan masyarakat sipil. kekerasan dalam konflik di Nduga tidak bisa dipantau karena aparat keamanan mengisolasi daerah itu dan menutup akses para pekerja kemanusiaan dan hak asasi manusia. Korban masyarakat semakin banyak dan tak bisa tertolong. Hal ini menimbulkan persoalan kemanusiaan yang terjadi. Pembela HAM Papua dari yayasan keadilan dan perdamaian keutuhan manusia Papua, Theo Hesegem yang dikutip oleh Dr. Socratez S Yoman dalam bukunya yang berjudul ”Kami Bukan Bangsa Teroris” mengatakan tentang dewan gereja Papua menolak label teroris dan catatan gembala lainnya, menurutnya bahwa dalam operasi di Nduga, TNI telah menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kalibobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/ Perempuan), (3) Masen Kusumburue (26/ Perempuan), (4) Tolop Bugi (13) Perempuan), dan (5) Hardius Bugi (15/Laki-laki).
Jokowi memang memerintahkan pemberantasan ini setelah Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny, gugur dalam baku tembak dengan KKB. “Saya perintahkan kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk terus mengejar dan menangkap seluruh anggota KKB,” kata Jokowi dalam konferensi pers, Senin (26/4). Bambang pun mengaku siap bertanggung jawab di hadapan hukum internasional atau hukum manapun demi melindungi rakyat dan negara dalam menumpas KKB. “Terpenting, para separatis dan teroris bisa musnah dari bumi Indonesia,” ujar wakil ketua umum Partai Golkar itu. Sumber ini di kutip dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210428082135-134-635710/benny-wenda-respons-perintah-jokowi-berantas-kkb-papua. Selama operasi militer di Kabupaten Nduga berlangsung pada Desember 2018 sampai 2020 banyak penduduk dan kalangan asli orang Papua menjadi korban. Setidaknya ada sekitar 205 orang tewas karena ditembak aparat dan mati di tempat pengungsian karena kelaparan. Hampir 37.000 penduduk asli Nduga meninggalkan kampung halaman dan menyelamatkan diri ke Lanny Jaya, Timika, ilaga dan Jayawijaya.
Pada tanggal 19 Desember 2018, TNI menembak mati Pendeta Geyimin Nigiri (83) Tokoh Gereja dan Perintis Gereja Kemah Injil di Kabupaten Nduga. TNI menembak mati dan membakar jenazah Geyimin dengan menyiram minyak tanah di belakang halaman rumahnya. Desakan penghentian aksi militer dan kepolisian dalam operasi keamanan di Nduga tak pernah dilakukan. Padahal Presiden RI Joko Widodo pernah memerintahkan untuk menarik pasukan dari Nduga pada awal tahun 2019 dan pada tanggal, 20 September 2020 Tentara Nasional Indonesia menembak mati Elias Karunggu (40) dan Selu Karunggu (20) di pinggir sungai kenyem, di kampung Meganggorak, Nduga. Alasannya, ayah dan anaknya diduga oleh TNI sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Kemudian, Bupati dan Wakil Bupati Nduga, tokoh masyarakat Nduga dan pemimpin Gereja dan semua orang yang peduli kemanusiaan dan kedamaian pun meminta agar pasukan TNI-Polri ditarik dari Nduga. Namun, hal ini tak didengar juga.
Mengapa TNI dan Polri tidak mau keluar dari daerah Nduga, TNI-Polri menjadi manusia yang mengabaikan hati nurani dan menjadi orang-orang bermoral rendah serta berwatak kriminal. Apakah ada kaitan dengan kepentingan ekonomi dan bisnis di Papua. Dalam laporan dewan gereja Papua menyampaikan bahwa operasi militer ini dengan tujuan untuk merampas tanah penduduk asli Papua dan mendukung investor untuk penanaman kelapa sawit dan industri lainnya. Operasi keamanan yang terjadi di berbagai daerah di Papua diduga mendukung agenda terselubung penguasaan tanah masyarakat Papua untuk kepentingan bisnis atau investor. Situasi ini bisa terlihat dari tangisan masyarakat adat di Merauke Papua (Marind, Muyu, Mandobo, Yakai), Nduga, Timika Intan Jaya yang berulang kali mengalami kekerasan oleh aparat setelah menuntut hak adat mereka atas tanah dan hutan yang dirampas untuk penanaman kelapa sawit dan hutan tanaman industri lain. Masyarakat Adat Papua di kabupaten Tambrauw sejak tahun 2018, telah melakukan tuntutan menolak perusahaan kelapa sawit dan pendirian satuan-satuan militer di Tambrauw. Masyarakat asli Papua di Intan Jaya baru saja menyatakan menolak masuknya anak perusahaan PT ANTAM yang hendak menguasai blok tambang di wilayah itu di tengah gencaran operasi militer yang sedang berlangsung dan menyebabkan kematian serta pengungsian warga Intan Jaya sekitar 8 jemaat telah mengosongkan kampung halaman mereka.
Setidaknya ada 3 pendeta yang tercatat menjadi korban penembakan oleh TNI yaitu pendeta Yeremia Zarumban, Pendeta Geyimin Nirigi, dan Pendeta Elisa Tabuni. Kemudian, sesudah peristiwa kematian Pendeta Yeremia, masih ada korban berjatuhan dari kalangan gereja, yang berlokasi di Distrik Sugapa, Intan Jaya. Agustinus Duwitau, seorang katekis atau petugas Gereja Katolik, tewas ditembak oleh aparat TNI pada rabu, 7 Oktober 2020, di Bilogai, Distrik Sugapa, Kampung Emodi, kabupaten Intan Jaya, Papua. Setelah beberapa minggu berikutnya, Rufinus Tigau, seorang katekis Gereja katolik Stasi Jalae, Paroki Santo Michael Bilogai, Sugapa, Intan Jaya, tewas ditembak aparat TNI pada 26 Oktober 2020. la dituduh sebagai anggota TPN-OPM, yang telah dibantah oleh pihak Gereja Katolik bahwa tuduhan itu tidak benar. Dr. Socratez S.Yoman selaku Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (BPP-PGBWP) mengecam dan mengutuk keras atas penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua yang ditembak mati oleh tentara operasi nasional Indonesia (TNI) pada Sabtu, 19 september 2020 pendeta Yeremia tewas ditembak pasukan TNI dalam operasi militer pada saat pendeta Yeremia ke kandang babi miliknya untuk memberi makanan. Akibat dari operasi militer, ada 7-8 gereja dikosongkan dan para anggota jemaat menyelamatkan diri dengan melarikan diri ke hutan-hutan. Kekejaman dan kejahatan TNI ini bagian yang tidak terpisahkan dari perintah presiden Joko Widodo di Nduga Papua sejak Desember 2018 yang menyebabkan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI di Papua.
Solusi Damai di Tanah Papua Mengubur Tragedi HAM Dan Mencari Jalan Keadilan
Permasalahan di Papua sangat kompleks karena terdiri atas berbagai aspek. Oleh karena itu, penyelesaiannya memerlukan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat Papua. Kemudian perlu adanya pendampingan, pembinaan, dan pengawasan kepada Pemda dalam pengelolaan dana otonomi khusus agar pembangunan di daerah dapat lebih fokus dan tepat sasaran. Pemerintah juga perlu menyelesaikan tuduhan terjadinya kasus pelanggaran HAM melalui proses hukum dan juga penyelesaian sesuai dengan adat Papua. Terakhir, pemerintah harus dapat dirasakan kehadirannya hingga ke pedalaman Papua, terutama aparat keamanan. Hal ini dalam rangka meningkatkan rasa aman masyarakat. Penjelasan tersebut relevan dengan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 34 yang berbunyi bahwa 1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Selama ini, persoalan Papua yang terekspos hanya di area konflik antara OPM dengan pemerintah pusat atau aparat keamanan. Komnas HAM melihat dari perspektif yang lain, yaitu berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia. Pada dasarnya masyarakat Papua juga menghadapi dampak lanjutan yang luput dari diskursus publik, yaitu kehilangan akses hak ekonomi, sosial dan budaya akibat konflik bersenjata. Maka kemudian masyarakat Papua juga memiliki hak untuk dipulihkan mental akibat gangguan maupun teror tersebut.
Situasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di Papua turut menjadi perhatian. Lantaran ada aksi-aksi yang dilakukan secara damai direspons secara berlebihan hingga menimbulkan korban jiwa dan pemidanaan berlebihan terhadap orang-orang yang mengekspresikan pendapat. Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan kebebasan yang harmless (tidak melukai) yang seharusnya bisa menjadi sarana artikulasi masyarakat Papua secara damai sehingga eskalasi konflik bisa dicegah dan ruang-ruang damai yang harus dijamin dan dilindungi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Salah satu kunci menjawab persoalan Papua, melalui penjaminan terhadap keterbukaan ruang kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat. Terkait data dan informasi mengenai fakta di lapangan, Komnas HAM ingin menginformasikan kepada pemerintah bahwa ada persoalan-persoalan lain yang luput menjadi perhatian sehingga kebijakan bisa dievaluasi. Hal ini terkait dengan rekomendasi terhadap pemerintah Indonesia dalam Sidang Dewan HAM PBB Universal Periodic Review pada Maret 2023 lalu.
Khusus isu Papua, ada dua hal yang menjadi rekomendasi. Pertama, pemerintah Indonesia berkomitmen melanjutkan upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan membawa akuntabilitas terhadap kasus-kasus tersebut. Pemerintah akan menghormati dan melindungi tanggung jawab hak asasi manusia di Papua termasuk di dalamnya adalah kebebasan berkumpul, mengeluarkan pendapat, berekspresi, kebebasan pers dan hak-hak perempuan, minoritas, serta memprioritaskan perlindungan bagi sipil termasuk perempuan dan anak. Ini adalah komitmen pemerintah yang sudah diterima di dalam persidangan Dewan HAM PBB. Marilah kita sama-sama meminta janji pemerintah ini untuk dilaksanakan tentu dengan kapasitas dan peran masing-masing. Mari kita pantau komitmen pemerintah ini bahwa setidaknya kebebasan berekspresi, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, perlindungan terhadap kelompok-kelompok marginal (perempuan, anak, minoritas, dan lain-lain) akan dijamin dan dilindungi. Saya berpandangan apabila hak-hak ini dijamin, maka saya yakin eskalasi konflik juga akan berkurang jauh dan aspirasi politik akan didialogkan dengan damai.
Kita harus mengakui bahwa sampai saat ini Papua masih berada dalam Negara kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1969, meskipun melalui proses integrasi yang dipahami oleh sebagian masyarakat Papua sebagai sebuah proses yang cacat moral dan hukum. Sejak Papua berintegrasi, proses pembangunan integrasi politik dilakukan dengan pendekatan keamanan dibandingkan pendekatan kesejahteraan. Pendekatan Keamanan sangat mempengaruhi labilitas integrasi karena justru berbagai pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana digambarkan di atas timbul sebagai tragedi dan trauma kemanusiaan yang berlangsung sampai dengan saat ini.
Berbagai pelanggaran hak asasi manusia seringkali menjadi perhatian berbagai komunitas yang peduli terhadap hak asasi manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak tahun 2000 secara serius mendokumentasikan atau memotret kondisi riil pelanggaran Hak Asasi Manusia di Nduga Papua. Belum tuntasnya kasus pelanggaran HAM Nduga, Wasior dan Wamena melalui Peradilan HAM, berbagai pelanggaran HAM pada masa Daerah Operasi Militer menjadi perhatian Komnas HAM.
Komnas HAM menawarkan solusi damai bagi tanah Papua melalui dialog antara Pemerintah Pusat dan masyarakat Papua seperti diinginkan oleh sebagian tokoh intelektual Papua untuk membicarakan 4 variabel persoalan yang dikemukakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yakni stigmatisasi dan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan dan status, serta sejarah politik Papua. Dialog Pemerintah Pusat dan Papua yang diharapkan tidak hanya membicarakan masalah kemerdekaan Papua dan integrasi yang lazim disebut “Merdeka harga mati atau NKRI harga mati”. Masyarakat Papua lebih mendukung dialog dengan tujuan terciptanya tanah Papua yang damai tanpa kekerasan, tanpa pelanggaran HAM dan tanpa kejahatan, tanpa rintihan, ratapan, tangisan, kesedihan.