PERPOLISIAN KOMUNITAS SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KETERTIBAN SOSIAL DI INDONESIA
Khairul Ikmam
Mahasiswa FH UAD Angkatan 2022
Polisi dan Masyarakat
Di antara lembaga-lembaga hukum yang ada, barangkali polisi adalah yang paling memperlihatkan sifat sosiologis dalam pekerjaaannya. Sifat tersebut didasari akan fakta bahwa di dalamnya banyak dijumpai keterlibatan masyarakat secara intens. Polisi pada hakikatnya dapat dilihat sebagai hukum yang hidup, karena ditangan polisi hukum mengalami perwujudannya, utamanya di bidang hukum pidana. Apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, maka polisi yang secara konkret menentukan bagaimana ketertiban itu ditegakkan. Oleh karena sifat pekerjaannya yang sarat akan keterlibatannya dengan masyarakat, seperti apa yang tercantum dalam Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum”. Oleh sebab demikian sering kali polisi menanggung resiko mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat yang dilayaninya. Maka dari itu polisi sudah seharusnya berhati-hati dalam mengambil tindakan maupun keputusan.
Dalam rangka menciptakan ketertiban kehadiran polisi sebagai instrumen negara memiliki peran yang sangat penting dan krusial dalam menciptakan ketertiban. Melalui polisi tujuan hukum untuk melindungi masyarakat akan menjadi kenyataan. Namun penegakan ketertiban oleh polisi tidak semudah mengetuk palu di meja. Selain memenuhi tujuan hukum kepolisian juga harus memenuhi tujuan sosial. Di sinilah letak dilema dari pekerjaan polisi dimulai. Ketertiban sosial sebagai fenomena sosiologis adalah jauh lebih luas dan rumit daripada ketertiban hukum yang memiliki acuan substansi serta prosedur yang jelas (Rahardjo, 2002). Oleh karena polisi memiliki peran ganda sebagai penegak hukum yang sarat akan aturan di satu sisi maupun pekerja sosial pada aspek kemasyarakatan di sisi yang berbeda.
Polisi kini tidak hanya menghadapi dilema, namun juga menghadapi krisis moral dalam menegakkan hukum dan ketertiban sosial. Dengan adanya banyak kasus pelanggaran yang telah dilakukan polisi dalam tugasnya. Menghadapi kenyataan bahwa adanya dilema dan krisis moral dari polisi, sudah seharusnya negara tidak tinggal diam menghadapi problematika semacam itu. Persoalan ini tidak dapat di hiraukan begitu saja, selama polisi melihat teks sebagai acuan ketertiban di masyarakat dan tidak sanggup melakukan terobosan demi ketertiban di masyarakat, maka kesejahteraan hanyalah mimpi belaka. Apalagi krisis moral yang telah dihadapi oleh polisi bisa menyebabkan kekerasan yang tidak diinginkan.
Polisi dan Kekerasan
Perpolisian itu berubah dari waktu ke waktu. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa ada masanya perpolisian dilakukan dengan lebih banyak menggunakan kekerasan bukan dari kecerdasan. Akhir-akhir ini polisi dan kekerasan menjadi pembahasan yang sangat krusial. Bukan karena polisi banyak menanggulangi kekerasan, tapi justru karena mereka yang melakukan tindak kekerasan. Meskipun tidak sedikit polisi yang benar-benar menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, tapi hal ini adalah fakta yang juga tidak mungkin bisa dibantah. Krisis moral oleh polisi menyebabkan banyak kekerasan kepada masyarakat yang tidak diinginkan terjadi. Sebagaimana dalam laporanuntuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (kontras) menemukan sepanjang Juli 2022-Juni 2023 terdapat 622 peristiwa kekerasan. Dari ratusan peristiwa kekerasan tersebut tercatat penembakan sebanyak 440 kasus, 58 kasus penganiayaan, 41 kasus pembubaran paksa, 46 kasus penangkapan sewenang-wenang dan 13 kasus penggunaan gas air mata.
Perilaku lain yang kemudian dapat kita temui ketika polisi dalam menegakkan hukum selain kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, diskriminasi, permintaan layanan/penegakan hukum alasan kepentingan pribadi, diskresi melampaui batas dan perilaku-perilaku yang menyimpang lainnya. Bahkan menurut lembaga Ombudsman Republik Indonesia menyatakan, kepolisian masih menjadi institusi yang paling tinggi diadukan oleh masyarakat utamanya disepanjang tahun 2020, polisi menempati urutan pertama dalam 1.120 laporan oleh masyarakat dalam hal hukum, HAM, politik, keamanan, dan pertahanan dengan 699 laporan, di antaranya terkait dengan dugaan penyimpangan prosedur dan pemberian pelayanan. Kemudian disepanjang tahun 2022 kemarin dari 752 laporan tentang pelayanan publik yang masuk ke lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan publik yaitu Ombudsman RI sepanjang tahun 2023, 133 laporan di antaranya merupakan laporan terhadap kepolisian.
Terlepas dari benar atau tidaknya, setidaknya data yang dikeluarkan oleh Ombudsman semakin memberi justifikasi dan manifestasi yang kuat bahwa memang benar adanya di dalam institusi kepolisian banyak terjadi penyimpangan khususnya dalam penyimpangan kode etik profesi. Perbuatan polisi tersebut di atas sangat jelas sangat kontroversial dengan tujuan polisi sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
Oleh karena itu polisi dan kekerasan memang adalah dua hal yang identik, karena memang pada dasarnya polisi memiliki tugas untuk menghilangkan kekerasan dan menciptakan ketertiban di masyarakat yang artinya polisi sangat dekat dalam mengemban tugasnya dengan masyarakat. Namun jika melihat realitas di lapangan polisi identik dengan kekerasan karena justru segelintir oknum dari mereka yang membuat kekerasan, yang justru sangat bertentangan dengan nilai moral dan tujuan kepolisian. Karena demikian kita butuh terobosan dalam menanggulangi problem ini, sehingga perpolisian komunitas merupakan salah satu langkah solutif akan problem yang sedang terjadi antara polisi dengan masyarakat hari ini, yang akan diterangkan lebih pada paragraf selanjutnya.
Perpolisian Komunitas Sebagai Upaya Mewujudkan Ketertiban Sosial di Indonesia
Perpolisian komunitas adalah gaya perpolisian yang mendekatkan polisi dengan masyarakat yang dilayaninya. Ini berarti meningkatkan hubungan timbal balik (resiprositas) antara polisi dengan masyarakat. Artinya menjalankan pelayanan ketertiban tidak hanya dilihat dari kacamata polisi semata-mata, akan tetapi juga masyarakat sebagai kunci pelayanan tersebut. Dengan perkataan lain bahwa polisi tidak menentukan pelayanan apa yang harus ditetapkan dan ingin dilakukan, tetapi masyarakatlah yang menentukan sebagai stake-holder.
Suatu filsafat dalam kepolisian modern mengatakan bahwa polisi itu harus menjauh dari konfigurasi militer dan berjabat tangan dengan seluruh masyarakat. Perilaku dan watak masyarakat sangat dibutuhkan oleh polisi untuk dapat menjalankan tugas serta pekerjaannya dengan baik. Untuk itu polisi harus membaur dan bergaul sepenuhnya dengan masyarakat yang dilayaninya agar tercapai tujuannya untuk bisa memberikan ketertiban kepada masyarakat.
Maka dari itu masyarakat memiliki peran penting selain meminta ketertiban terhadap negara disatu sisi dan menciptakan ketertibannya sendiri disisi lain. Artinnya masyarakatlah yang juga memiliki tanggung jawab dalam ketertiban mereka. Jika tugas untuk menciptakan ketertiban diserahkan begitu saja kepada kepolisian dengan alasan karena hal itu adalah kewajiban polisi, maka seakan-akan masyarakat tidak mempunyai kesadaran penuh akan kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai masyarakat. Tidak dapat disangkal hal ini adalah kenyataan, oleh karena itu kini polisi dan masyarakat seharusnya membangun kerjasama dengan tujuan menciptakan ketertiban di lingkungan sosialnya. Hal ini bisa tercapai jika masyarakat dengan polisi sama-sama menyadari bahwa menciptakan ketertiban adalah tugas bersama.
Kurang profesionalnya institusi kepolisian merupakan sebab utama belum optimalnya ketertiban masyarakat. Oleh karena itu diperlukan institusi kepolisian yang efektif, efisien dan akuntabel. Yakni, kepolisian harus memiliki profesionalisme dalam aspek struktural (institusi), aspek instrumental (filosofi, kompetensi dan kemampuan), dan aspek kultural (menajemen sumber daya, operasional dan sistem pengamanan di masyarakat).
Maka langkah-langkah yang perlu di perhatikan untuk menjadi langkah awal dalam menciptakan ketertiban sosial adalah; pertama yakni Pendekatan sosial, yaitu di mana polisi dan masyarakat mencoba untuk saling mengerti, dan pendekatan tersebut dimulai dari polisi. Pendekatan itu juga dilakukan untuk polisi agar lebih mengakrabkan mereka dengan lingkungan sosial dan masyarakat yang akan dijaga ketertibannya. Perpolisian komunitas itu dimaksudkan untuk memanfaatkan hubungan polisi yang sangat dekat dengan masyarakat untuk saling bekerja sama dan memikul tanggung jawab dalam menciptakan ketertiban. Tentunya ini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan oleh polisi dan masyarakat, kemauan yang kuat untuk sama-sama menciptakan ketertiban dapat membantu kerjasama ini terimplementasi dengan baik.
Langkah kedua adalah kesadaran bersama, yakni dimana polisi dan masyarakat mencoba untuk saling memahami satu sama lainnya yang juga merupakan kunci dari perpolisian komunitas, karena tanpa kesadaran bersama polisi dan masyarakat tidak akan saling memahami satu sama lainnya. Karena sikap bela negara dan menjaga ketertiban masyarakat bukan hanya tugas seorang tentara dan kepolisian, namun masing-masing dari warga indonesia bersikap bijak dalam menjalankan perannya masing-masing. Oleh karena itu, saling menyadari bahwa menciptakan ketertiban adalah tugas bersama yang dapat tercapai jika hanya mereka saling memiliki kesadaran untuk mengemban tanggung jawab bersama, maka mencapai kesejahteraan bukanlah mimpi belaka. Maka dari itu pendekatan sosial dan kesadaran bersama adalah langkah penting yang harus dilakukan oleh masyarakat dan polisi dalam menciptakan ketertiban untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Dengan meningkatkan peran serta masyarakat dan meningkatkan profesionalisme institusi polisi demi terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Satu langkah penting yang wajib terpenuhi juga yaitu meningkatkan profesionalisme polisi dalam meningkatkan kompetensi pelayanan, yaitu dengan memberikan teladan praktek penegakan hukum yang non-deskriminatif, yang dapat mendorong kepercayaan masyarakat terhadap institusi polisi untuk mematuhi hukum. Dan hal tersebut ditujukan untuk membangun perpolisian komunitas untuk membangun kedekatan antara polisi dengan masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Perpolisian komunitas sudah ada di indonesia namun masih belum optimal pelaksanaanya. Yaitu dengan adanya pemolisian masyarakat atau polmas yang merupakan sebuah kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota kepolisian dan masyarakat itu sendiri untuk saling menjaga ketertiban. Maka dari itu, dengan adanya pemolisian masyarakat polisi bisa menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Polisi selaku pengemban fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, tidak akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa peran serta dari masyarakat. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam mewujudkan ketertiban sosial merupakan kebutuhan mutlak, masalah-masalah keamanan dan ketertiban masyarakat perlu dan harus diatasi dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat dan polisi sebagai sebuah langkah strategi yang tepat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan terselenggaranya perpolisian komunitas dengan baik di indonesia maka ketertiban sosial pastilah dapat diwujudkan dan tidak hanya menjadi mimpi belaka.