19 TAHUN RUU PPRT TAK KUNJUNG DIKETOK PALU
Retno Damarina, S.H.
Alumni FH UAD Angkatan 2019
Tekanan kebutuhan hidup saat ini sangat berat sebagai makhluk sosial (zoon politicon) dengan status ekonomi rendah dan ditambah pendidikan yang rendah serta minimnya skill, membuat sebagian orang memilih bekerja di sektor informal, salah satunya menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT). PRT merupakan salah satu jenis pekerjaan yang digeluti oleh sebagian masyarakat Indonesia. Tidak sedikitnya masyarakat yang memilih bekerja menjadi PRT, dikarenakan untuk bekerja menjadi PRT tidak memerlukan secarik ijazah dari suatu lembaga pendidikan, cukup tenaga untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Mengutip penuturan Koordinator Jaringan Nasional Advokasi PRT (JALA PRT), Lita Anggraini menyampaikan bahwa tahun 2012 sampai 2021 ada 400 PRT mengalami beragam tindakan kekerasan. Sebab tidak sedikitnya kekerasan yang dialami oleh PRT dikarenakan tidak atau belum ada regulasi yang mengatur PRT sebagai pekerja, aturan yang mencakup sebelum, selama dan sesudah bekerja serta tidak kalah penting soal pengawasan untuk PRT, sehingga minimnya pengawasan menyebabkan beragam tindakan kekerasan yang diterima oleh PRT. PRT di Indonesia berdasarkan data ILO (international Labour Organization) dari tahun 2015 didominasi oleh pekerja perempuan dan ada juga anak-anak dibawah umur menjadi PRT. Menurut laporan Komnas Perempuan tertanggal 14 Februari 2023, pekerja perempuan rawan mendapatkan perlakuan yang tidak baik atau kekerasaan selama bekerja menjadi PRT. Persoalan di atas, mengidentifikasi betapa pentingnya adanya payung hukum bagi PRT.
Tataran yuridis, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang sudah direvisi dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, belum mengakomodir perlindungan PRT. Tinjauan terhadap PRT sebagai tenaga kerja, merujuk pada UU Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri maupun untuk masyarakat, dari pengertian tenaga kerja dalam UU Ketenagakerjaan terkait dengan pekerja menghasilkan jasa, ini identik dengan ranah kerja PRT yang memberikan jasa kepada pemberi kerja.
Sudut pandang hubungan kerja menurut UU Ketenagakerjaan memuat unsur pekerjaan, upah dan perintah, PRT memenuhi unsur pekerjaan, upah, dan perintah, tetapi dalam konteks pemberi kerja dalam UU Ketenagakerjaan yang diidentikan dengan pengusaha, penulis rasa kurang tepat terkait dengan pemberi kerja PRT, karena pemberi kerja untuk PRT tidak selalu seorang pengusaha, sehingga PRT dirasa penulis tidak tepat masuk dalam lingkup hubungan kerja UU Ketenagakerjaan (ranah pekerja formal). Regulasi ketenagakerjaan saat ini lebih mengatur hubungan kerja dalam ranah formal, sedangkan hubungan kerja informal tidak masuk di dalamnya, terutama PRT. Kosongnya aturan hukum terkait dengan hubungan kerja PRT, memerlukan regulasi khusus yang memberikan kepastian hukum.
Era rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004, sebenarnya sudah ada pembahasan untuk pengaturan PRT dan Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), namun hingga beralih rezim presiden ke-7 atau sudah 19 tahun RUU PPRT belum diketuk palu. Tidak kunjung disahkannya RUU PPRT menimbulkan beragam pertanyaan yang muncul terkait dengan perlindungan negara, kenapa RUU PPRT belum menjadi undang-undang?, apakah negara memberikan harapan palsu selama 19 tahun kepada PRT?, dimana wujud keseriusan negara untuk melindungi PRT?, dan seterusnya.
Awal tahun 2023 menjadi angin segar bagi PRT, karena orang nomor satu di republik ini, Presiden Jokowi menyatakan komitmen dan berupaya untuk memberikan perlindungan bagi PRT dengan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Ketenagakerjaan untuk segera melakukan diskusi dengan DPR soal pengesahan RUU PPRT. Setelah pernyataan Presiden Jokowi tentang RUU PPRT, para aktivis dan PRT berharap RUU PPRT sama dengan nasib Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diketuk palu oleh DPR tidak lama setelah Presiden Jokowi mengeluarkan suara soal dukungan untuk pengesahan RUU TPKS.
Selepas pernyataan Presiden Jokowi, DPR dalam sidang paripurna mengesahkan RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR, tentunya hal ini mendapatkan apresiasi oleh banyak kelompok PRT yang merasa akan diberikan kepastian hukum, walaupun demikian hingga saat ini RUU PPRT belum atau masih ditunda pembahasan. Penundaan pembahasan ini membuat para PRT dan aktivis PRT melakukan segala upaya, salah satunya dengan melakukan aliansi mogok makan di depan gedung DPR tertanggal 14 Agustus 2023 agar RUU PPRT segera disahkan dan pada bulan Oktober 2023 ini sudah mencapai hari ke-53 mogok makan desak RUU PPRT di depan gedung DPR (mengutip unggahan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga atau Jala PRT), aksi ini mayoritas dilakukan oleh kaum perempuan.
Bagaimana Upaya Wakil Rakyat Saat Ini yang Duduk di Senayan Terkait dengan Perlindungan PRT?
Mengutip berita yang dirilis oleh Metrotvnews tertanggal 13 Maret 2023, semua fraksi di Senayan setuju untuk mengesahkan RUU PPRT, tetapi menurut penuturan Ketua Panja RUU PPRT RI Willy Aditya, ada 2 (dua) fraksi yang belum setuju atau menjadi penghambat pembahasan RUU PPRT yaitu Fraksi PDIP dan Golkar dengan alasan perlu adanya kajian lebih lanjut terkait dengan RUU PPRT. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan wakil rakyat di Senayan?, padahal hanya 2 (dua) fraksi yang tidak atau belum setuju, artinya tidak sebanding dengan fraksi yang setuju, lantas kenapa mengalami penundaan?, kajian apa lagi yang sebenarnya direncanakan oleh wakil rakyat di Senayan untuk RUU PPRT?, sebenarnya rezim ini serius tidak untuk mewujudkan kepastian hukum bagi PRT?, apakah RUU PPRT tidak menarik untuk dibahas?, entahlah hanya wakil rakyat di Senayan yang tahu dan Yang Esa. Mungkin pertanyaan di atas, beberapa pertanyaan yang menjadi tanda tanya bagi PRT dan aktivis PRT.
Mengamati beberapa tahun belakangan di era rezim ini, tidak sedikit mengesahkan undang-undang. Undang-undang yang disahkan jika dicermati banyak sekali muatan pasalnya, seperti halnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang di dalamnya memuat banyak undang-undang, yang diketuk palu 2020, kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan kemudian dinyatakan inkonstitusional bersyarat, kemudian keluar Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang, dan masih banyak lagi produk hukum era rezim saat ini. Apa korelasinya membahas soal Undang-undang Cipta Kerja dengan RUU PPRT?, korelasinya adalah substansi RUU PPRT tidak sebanyak subtansi Undang-undang Cipta Kerja, tetapi RUU PPRT sampai saat ini belum disahkan.
PRT merupakan fenomena sosial, disatu sisi dapat menjadi pekerjaan bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan pendidikan, tetapi dilihat dari sisi lain juga bekerja menjadi PRT rawan mendapatkan perlakuan yang kurang baik, karena salah satu faktor disebabkan belum adanya aturan yang jelas terkait dengan hubungan kerja PRT. Pentingnya RUU PRT disahkan menjadi undang-undang agar memberikan perlindungan hukum bagi PRT terkait dengan hubungan kerja yang mencakup perintah, upah, ranah pekerjaan, waktu kerja, dan perlindungan lainnya. Berkaitan dengan pekerjaan, upah, perintah dan pihak-pihak (PRT, pemberi kerja, penyalur dan pemerintah) yang berkaitan dengan PRT sudah diakomodir dalam RUU PPRT.
Selama ini PRT dalam praktiknya melibatkan tiga pihak antara penyalur, pemberi kerja dan PRT sendiri. Selama belum ada aturan khusus tentang PRT, pihak menyalur leluasa memainkan perannya, mulai dari pemberian informasi, perekrutan, penggajian dan kontrak antara PRT dengan pihak pemberi kerja. Menariknya di lapangan, pemberi kerja jika akan menggaji PRT dikirimkan terlebih dahulu kepada pihak penyalur dan baru pihak penyalur memberikan kepada PRT, sering kali pihak penyalur memotong gaji PRT setiap bulan dan pemotongan lumayan besar, dengan dalih bahwa PRT harus memberikan kontribusi kepada pihak penyalur karena pihak penyalur telah memberikan pekerjaan. Hal di atas menjadi hal yang lumrah, apalagi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Tangerang dan kota-kota lainnya. Penyalur dengan mengambil peran penting inilah yang membuka cela terjadinya pelanggaran yang memungkinkan dialami oleh PRT, yang dimana seharusnya terkait dengan sebelum, selama dan sesudah bekerja peran pemerintah seharusnya mendominasi.
Banyak spekulasi terkait dengan RUU PPRT jika disahkan sebagai undang-undang. Spekulasi tersebut antara lain, apabila PRT diatur akan menyebabkan lapangan kerja PRT menjadi berkurang atau masyarakat tidak mau lagi menggunakan jasa PRT. Hal tersebut menurut penulis bukan point utamanya, adanya PRT sebagai pekerja juga perlu dilindungi dan berhak atas hak-haknya. Lantas, jika demikian sesuai dengan pemaparan sebelumnya, apakah PRT dibiarkan saja atau tidak perlu diatur?, tentu tidak, dan disinilah peran negara seharusnya mewujudkan kepastian hukum bagi PRT serta keadilan bagi PRT dan pemberi kerja dalam hubungan kerja. PRT sebagai pekerja juga perlu kesejahteraan. Penulis rasa dengan tidak sedikitnya perempuan bekerja di luar rumah atau publik, tentunya setiap rumah tangga akan selalu membutuhkan PRT untuk mengurus urusan rumah, sehingga kedepan kebutuhan rumah tangga akan PRT akan selalu ada, tinggal bagaimana negara mengaturnya.
Penundaan pembahasan RUU PPRT sama dengan mengabaikan perlindungan PRT. Penulis rasa dengan RUU PRT tak kunjung disahkan menjadi undang-undang, menimbulkan banyak pertanyaan terkait dengan keseriusan para wakil rakyat di Senayan. Jika memang DPR serius pasti RUU tersebut sudah menjadi undang-undang, dan tidak hanya itu saja Presiden Jokowi juga sudah memberikan lampu hijau terkait dengan RUU PPRT menjadi undang-undang. RUU PPRT merupakan pertimbangan kemanusiaan.
Aksi-aksi para PRT dan aktivis PRT sesungguhnya untuk memperjuangkan hak-hak PRT sebagai pekerja, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja juga perlu diberikan untuk PRT melalui percepatan pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang. Sebelum akhir kepemimpinan rezim ini, RUU PPRT semoga segera disahkan menjadi undang-undang, agar menjadi kado manis kepada para PRT.