TELAAH KRITIS ORISINALITAS RKUHP SEBAGAI KARYA ANAK BANGSA
IVAN LIPPU
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan & Demisioner Direktur Community Of Criminal Law Study 2018-2019
Perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dinafikan, begitupun perkembangan yang berubah dengan signifikan merupakan sebuah ketentuan yang pastinya memberikan konsekuensi tersendiri bagi sistem hukum dalam sebuah Bangsa, khususnya Bangsa Indonesia. Kendati, dengan terjadinya perubahan tersebut tidak secara langsung sebuah bangsa kemudian menegasikan sistem hukum yang berasal dari pengalaman empiris sejarah bangsa tersebut. Sebab penerapan sistem hukum yang tidak berasal dari kandungan nilai-nilai masyarakat suatu bangsa merupakan suatu problem tersendiri. Sehingga negara Indonesia yang kemudian menyadari dengan sungguh bahwa terdapat ketidakcocokan antara sistem hukum yang berlaku dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat bangsa. Disisi lain, khususnya penerapan hukum yang telah usang juga merupakan salah satu indikator kegagalan penegakan hukum di Indonesia. Sehingga pembaharuan hukum yang dalam ini adalah hukum pidana yang merupakan bagian dari kesatuan sistem hukum negara Indonesia sangatlah penting dilakukan perubahan guna sebagai ikhtiar para pembentuk hukum dalam memperbaiki status quo bangsa ini.
Pembaharuan hukum pidana materil sangat diperlukan karena Kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku hingga saat ini merupakan kitab undang-undang hukum pidana peninggalan zaman kolonial belanda yang berasal dari sistem hukum kontinental (civil law sistem) yang dikenal dengan istilah wetbook van straf recht dan baru berlaku sebagai hukum positif di negara kita berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun 1958 yang diterjemahkan dengan istilah Kitab undang-undang hukum pidana. Kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku juga sangat dipengaruhi oleh ajaran individualisme, liberalisme dan individual rights sehingga tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah negara dan UUD 1945 sebagai aturan dasar atau Staat fundamental norm yang merupakan acuan dalam pembentukan sistem hukum nasional.
Sejarah singkat RKUHP
Sejak puluhan tahun silam, upaya rekodefikasi KUHP nasional sebenarnya sudah digagas. Tepatnya, saat digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada tahun 1963, salah satunya membahas Rancangan KUHP (RKUHP) selain Rancangan KUHAP, KUHPerdata, KUHDagang. Seminar ini disebut-sebut menjadi titik awal sejarah pembaharuan KUHP di Indonesia yang setahun kemudian mulai dirumuskan oleh tim pemerintah. Namun, lebih dari setengah abad lamanya, RKUHP ini tak kunjung rampung dibahas dan disahkan menjadi KUHP nasional. Bila dihitung periode kepemimpinan Presiden, berarti sudah delapan presiden berganti. Kalau dilihat berapa banyak Menteri Hukum dan HAM (dulu menteri kehakiman), kira-kira sudah ada 14 kali pergantian Menteri. Bahkan, tim penyusun yang pernah terlibat menyusun RKUHP yang berjumlah sekitar 17 orang telah wafat. Hal ini pernah diungkap Guru Besar Universitas Diponegoro, Prof. Barda Nawawi Arief pada Maret 2016 lalu.
Hingga tahun 2017 Target pembentuk undang-undang untuk menyelesaikan pembahasan RKUHP akhir Desember 2017 kembali mundur, sehingga pada tahun 2018 RKUHP tersebut kembali dibahas, tentu sejumlah permasalahan rumusan pasal tersebut seyogyanya segera diatasi. Terlebih, RKUHP ini masuk sebagai salah satu RUU Prolegnas Prioritas 2018. Namun keadaannya tetap sama, ditahun tersebut RKUHP belum dapat disahkan. Sehingga pembahasan dan wacana pengesahan terkait RKUHP mengalami puncaknya di tahun 2019 ini, yang dimana isu pengesahan RKUHP tersebut mendapat respon kontra pengesahan dari masyarakat maupun sebagian besar kalangan Mahasiswa di Indonesia dengan dalih bahwa masih terdapat pasal-pasal kontroversi yang tidak pro terhadap rakyat yang termuat di dalam substansi RKUHP tersebut, yang kiranya masih perlu dibahas kembali oleh pembentuk undang-undang.
Rancangan KUHP hasil Karya Anak Bangsa ?
Menurut hemat penulis, pertanyaan diatas sangat menarik untuk dikaji secara kritis kebenaran validitasnya. Sebab, hampir disetiap seminar-seminar hukum maupun di ruang-ruang diskusi ilmiah yang membahas terkait Rancangan kitab undang-undang hukum pidana, lagi-lagi yang selalu penulis dengar bahwa RKUHP tersebut merupakan hasil karya anak bangsa. Pernyataan tersebut kadang berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat maupun dari para Tim ahli hukum pidana yang bersama-sama terlibat langsung dalam pembentukan RKUHP tersebut di Parlemen. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud sebagai hasil karya anak bangsa ?, apakah hasil karya anak bangsa dilihat dari subjek yang membuat Rancangan KUHP tersebut, atau hasil karya anak bangsa dilihat berdasarkan procedural pembentukan RKUHP yang harus sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, atau yang dimaksud sebagai hasil karya anak bangsa ialah substansi norma hukum yang termuat dalam RKUHP. Pernyataan tersebut tentunya sangat menarik abapila ditelaah kembali bagi penulis yang merupakan mahasiswa yang bergelut didunia hukum, khususnya hukum pidana.
Berdasarkan apa yang telah penulis paparkan diatas, penulis menarik kesimpulan yaitu; Pertama, bahwa narasi yang disampaikan terkait Rancangan KUHP merupakan hasil karya anak bangsa tentu dapat dibenarkan jika dilihat berdasarkan subjek yang membuat dan telah sesuai dengan procedural pembentukan Rancangan KUHP tersebut. Namun tidak demikian apabila maksud narasi tersebut diarahkan kepada substansi norma yang termaktub di dalam Rancangan KUHP, mengingat muatan norma yang terkandung di dalam Rancangan kitab undang-undang hukum pidana masih sangat kental dengan mengadopsi konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di negara-negara lain. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa ada substansi Rancangan KUHP yang benar-benar hasil cita rasa karya anak bangsa itu sendiri.
Kedua, Pada prinsipnya penulis sangat menyadari dengan sungguh bahwa mengadopsi sistem hukum negara lain sebagai acuan dan dasar pembentukan sistem hukum nasional di negara kita bukanlah menjadi persoalan, sepanjang konsep hukum yang ingin diadopsi tersebut dapat relevan dan tidak bertentengan dengan nilai-nilai masyarakat bangsa kita sendiri. Apalagi kita tahu bersama dalam perkembangannya, makna pembaharuan KUHP Nasional tidak lagi hanya mengandung misi dekolonisasi dalam kerangka rekodifikasi total, namun juga akibat perkembangan sosial yang terjadi, baik di dalam maupun di luar negeri yang berpengaruh pula pada standard, nilai dan norma-norma hukum pidana. Sehingga Pembaharuan KUHP terkait pula beberapa misi yang lebih luas yaitu misi demokratisasi hukum pidana yang ingin menjaga moralitas institusional, moralitas sosial, dan moralitas sipil (antara lain dengan masuknya tindak pidana terhadap HAM dan hapusnya karakter tindak pidana formil penaburan permusuhan dan kebencian yang digantikan dengan tindak pidana penghinaan yang bersifat delik materiil).
Ketiga, menurut penulis, menelaah substansi RKUHP dengan melakukan Perbandingan KUHP (comparative criminal law) antar negara lain, tentu kita akan menemukan banyak persamaan yang dirumuskan di dalam Rancangan KUHP Indonesia. Jika kita membaca kembali dengan seksama, RKUHP yang sempat mau disahkan pada september 2019 lalu, terdiri dari 2 (dua) buku, 36 BAB dan 628 Pasal terdapat beberapa persamaan. Sebagai misal, persamaan yang dapat kita temukan dalam substansi RKUHP yaitu mengenai ‘konsep denda’ yang dirumuskan dengan menggunakan ‘kategori’. Saat ini konsep denda yang berlaku di dalam WvS atau KUHP Belanda menggunakan konsep ‘kategori’ yang terdiri dari kategori I (satu) sampai dengan kategori VI (enam) yang dicantumkan di dalam Buku I, yaitu Pasal 23 WVS (Wetbook van straf recht). Hal yang senada pun di atur dalam RKUHP Indonesia yang dimana konsep denda dengan menggunakan ‘kategori’ yang terdiri dari kategori I (satu) sampai VIII (delapan) dapat kita temukan di dalam Pasal 79 Bab III Tentang Pemidanan, Pidana, dan Tindakan.
Sementara KUHP yang terdiri dari tiga buku yaitu Ketentuan Umum, Kejahatan, dan Pelanggaran kini hanya menjadi dua buku di dalam RKUHP. Adapun pengaturan yang sama sejalan dengan konsep KUHP yang sedang berkembang di negara-negara lain sebagai contoh di dalam KUHP Jepang, Jerman, Rusia dan lain sebagainya. Begitupun perluasan makna asas legalitas yang awalnya di dalam KUHP bermakna legalitas formal, kini semakin diperluas dengan tidak hanya bermakna legalitas formal tetapi juga legalitas materil, yaitu dengan melihat nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hal demikian sejalan dengan pembaharuan tentang paradigma asas legalitas yang diterapkan pada negara-negara moderen saat ini.
Adapun dengan mengadopsi ketentuan pidana di berbagai negara tersebut, menurut penulis bagian dari pada usaha untuk meningkatkan kualitas dan pengembangan ilmu hukum pidana secara praktis dan teoritis maupun melakukan penyesuaian dengan perkembangan hukum pada negaranegara moderen yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang berlaku dan diakui secara universal oleh masyarakat beradab di dunia.