ELEGI DAN REFLEKSI HUKUM ACARA PIDANA DEMI MENGGAPAI KEADILAN YANG DIDAMBA
Muhammad Khotibul Umam
Mahasiswa Fakultas Hukum 2020 & CCLS FH UAD
Embrio hukum pidana lahir dari tindakan manusia yang memiliki kehendak bebas (free will) teori ini lahir di Inggris yang didasarkan pada filsafat hedonistis sebagaimana oleh Cessaria Beccaria (1738-1794) seorang ahli matematika berkebangsaan Italia memandang setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih perbuatan-perbuatan yang dapat memberikan kebahagiaan dan menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat memberikan penderitaannya atau bahkan sebaliknya manusia memilih suatu perbuatan yang merugikan orang lain demi mencapai kehendak pribadinya sehingga dengan kehendak tersebut dapat bertentangan dengan suatu norma yang secara eksplisit/implisit diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Oleh sebab itu, hukum pidana hadir untuk membatasi manusia yang brutal dan sewenang-wenang yang dapat menjajah ketentraman sosial masyarakat. Tentunya pusar hukum pidana haruslah bermuara pada keadilan, sebagaimana yang disampaikan oleh filsuf Jerman yakni Gustav Radbruch est autem jus a Justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit Justitia quormjus, yang berarti hukum yang berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya. Kurnia Dewi Anggraeny menyatakan di samping keadilan sebagai tujuan hukum, keadilan juga dapat dianggap sebagai nilai (value). Artinya, keadilan merupakan nilai terpenting di dalam jantung hukum yang berdetak disetiap bunyi undang-undang dan selalu didamba oleh setiap hati masyarakat.
Herman Mannheim menyebutkan bahwa hukum pidana merupakan salah satu cermin dari suatu bangsa (criminal law is one of the most faithful mirrors of a given civilization, reflecting the fundamental values on which the latter rests). Akan tetapi, di sisi lain tidak semua doktrina hukum pidana menyetujui pendapat tersebut. L.H.C. Hulsman menyerukan penghapusan hukum pidana dikarenakan hampir tidak mungkin memberikan pidana yang adil menurut sistem hukum pidana yang berlaku, ditinjau dari cara kerjanya (Lilik Mulyadi, 2022 : 1). Hukum pidana diibaratkan perahu yang paling terpercaya memuat norma-norma, refleksi hak asasi manusia, yang berlayar diatas hukum acara (pidana formil) dan dinahkodai oleh penegak hukum salah satunya adalah hakim sebagai officium nobile untuk menuju pada dermaga keadilan, karena hakekat keberadaan hukum adalah demi mewujudkan keadilan.
Diskursus hukum acara pidana selain melindungi seseorang yang merasa dirugikan haknya juga melindungi seorang terdakwa yang terkadang dilanggar haknya demi mendapatkan bukti dari fakta-fakta yang netral. Artinya, hukum acara pidana menjamin hak setiap orang tanpa terkecuali terutama para pencari keadilan (justitiabeln). Sebagai contoh pertama, penulis kemukakan dari Artikel Guru Besar Emiritus Sosiologi Hukum Satjibto Rahardjo berjudul Polisi-Polisi yang Kurang Dikenal, yang mengisahkan salah satu oknum penegak hukum (polisi) di Amerika menjadi frustasi dan gigit jari ketika melihat buronan yang berhasil ditangkapnya lolos hanya karena hal-hal yang berkaitan dengan teknis hukum. Pada pokoknya seorang polisi yang memergoki seorang pengedar narkoba sedang melakukan transaksi barang terlarang tersebut, sehingga polisi menyergapnya, akan tetapi sang pengedar dengan sigap lebih dahulu menelan barang dagangannya. Kemudian oleh polisi, ia segera dilarikan ke rumah sakit untuk dipompa isi perutnya hingga keluarlah barang yang terlarang itu. Akan tetapi oleh pengadilan, sang pengedar dibebaskan/vrijspraak karena polisi memperoleh bukti tersebut dengan cara yang bertentangan dengan hukum (unlawful legal evidence) (Eddy O.S. Hiariej, 2012).
Kedua, kasus yang pernah ditangani oleh Sofyan Lubis dikemukakan dalam bukunya berjudul Pelanggaran Miranda Rule Dalam Praktik Peradilan yang pada pokoknya telah terjadi pengedaran uang palsu atau uang kertas bank yang asli namun dipalsukan atau uang kertas bank yang ditiru kemudian dipalsukan sendiri atau diketahuinya uang palsu, diancam dengan Pasal 245 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang dalam amar putusannya terdakwa diputus bebas dikarenakan dalam in casu a quo terdapat pelanggaran pada saat terdakwa diperiksa oleh Penyidik di Kepolisian (Sofyan Lubis, 2003).
Selain itu, masih terdapat banyak persoalan seperti contoh Kisah Sum Kuning, Kisah Sengkon dan Karta, Kisah Sarijo, Kisah Lingah Pacah dan Sumir, Kisah Pak De, Kisah Marsinah, Kisah Fuad Muhammad Syafrudin, Kisah Pitra Mulyasari, Kisah Nenek Minah, Kisah Lanjar Sriyanto, Kisah Janda Pejuang, yang kesemuanya telah diterbitkan oleh Kompas berbentuk buku dengan judul “Elegi Penegakan Hukum” (2010). Tentunya hal itu tidak dapat penulis ceritakan secara menyeluruh dalam tulisan ini, namun sangatlah perlu untuk direnungkan dan dibenahi. Dengan kata lain, bukan bermaksud untuk mengkupas luka lama, melainkan sebagai pundak untuk mengefaluasi dan memformulasikan hukum yang lebih menjamin para pencari keadilan (justitiabeln) di Indonesia agar benar-benar mewujudkan keadilan (Gerechtigkeit), kepastian (Rechtssicherheit), dan kemanfaatan (Zweckmassigkeit).
Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan sangat menghormati terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam lingkup The Criminal Justice System yang dimulai dari proses peyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemerikasaan perkara di Pengadilan, hak-hak terdakwa haruslah dipertimbangkan dan diutamakan dalam mengarungi dunia peradilan. Dalam konteks “Due Process Of Law” kendatipun pihak Kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari tahap penyelidikan dan penyidikan oleh Undang-Undang diberi hak istimewa atau hak previlese (memanggil, menahan, memeriksa, menggeledah, menangkap, bahkan menyita barang dari diri tersangka yang diduga sebagai alat dalam melakukan tindak pidana), akan tetapi di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Polri/Kepolisian haruslah taat serta tunduk terhadap prinsip The Right Of Due Process yaitu para tersangka berhak diselidiki atau disidik berdasarkan landasan hukum acara dan sesuai dengan teknis hukum yang berlaku.
Konsekuensinya apabila dalam memperoleh alat bukti Polri/Kepolisian melanggar ketentuan hukum acara, maka terdakwa diputus bebas (vrijspraak). Dikatakan putusan bebas jika pengadilan berpendapat bahwa “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan KUHAP (Marcus Priyo Gunarto, 2018 : 6). Dengan kata lain, bukti-bukti yang diajukan di persidangan diperoleh dengan cara yang tidak sah. Dalam konteks penemuan dan penyampaian alat bukti (bewijsvoering) yang dimaknai sebagai suatu ‘proses membuktikan’, menurut pandangan dari Thomas J. Gardner dan Terry M. Aderson, ketentuan mengenai alat bukti ini berlaku bagi bukti-bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak patut. Doktrin yang menetapkan pengecualian bukti yang berasal dari cara yang tidak sesuai dengan teknis hukum atau memperoleh bukti yang tidak tepat disebut derivative evidence rule atau dikenal juga sebagai the fruit of the poisonous tree rule (Albert Aries, 2022 : 20-21). Kendatipun di dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran materiil, namun kebenaran prosedural tidaklah tepat apabila dikesampingkan. Artinya, untuk memperoleh suatu kebenaran yang sebenar-benarnya, maka antara kebenaran materiil dan kebenaran formiilnya tidaklah boleh ada yang di simpangi. Itulah kebenaran yang sebenar-benarnya.
Berdasarkan hal tersebut, kedapannya diharapkan kepada para penegak hukum untuk senantiasa mematuhi aturan yang berlaku. Seorang tersangka/terdakwa haruslah dijamin hak-haknya. Penasihat hukum adalah hal yang wajib ada untuk dilakukannya pemeriksaan terhadap tersangka/terdakwa berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa “dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka” jo Pasal 56 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa “setiap penasehat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud memberikan bantuannya dengan cuma-cuma’. Berdasarkan ketentuan hukum yang telah diatur secara ekspresive verbis dalam Pasal 56 KUHAP merupakan serangkaian yang tak terpisahkan dari kandungan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Hal tersebut juga selaras dengan pengembangan “Miranda Rule” atau hak konstitusional tersangka/terdakwa dari kesewenang-wenangan penegak hukum, demikian diadaptasi dalam KUHAP seperti larangan bagi Penyidik melakukan praktek pemaksaan yang kejam demi memperoleh pengakuan dari tersangka (brutality to coerce confession) dan larangan bagi Penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (psycological intimidation) sehingga berkonsekuensi tersangka mengaku melakukan perbuatan pidana yang pada dasarnya tidak pernah atau tidak sama sekali melakukan perbuatan yang disangkakan.
Di Indonesia, penerapan hukum acara pidananya yang masih mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) cenderung mengarah kepada crime control model yang ternyata tidak ditemukannya konsekuensi nyata dari penemuan dan penyampaian bukti yang tidak sah atau bertentangan dengan hukum atau memperoleh alat bukti dengan cara melawan hukum (unlawful legal evidence) serta sanksi yang spesifik bagi oknum aparat penegak hukum yang melakukan penyalahgunaan wewenangnya. Diharapkan dalam pengesahan RUU KUHAP nanti akan menjadi penyeimbang antara crime control model dan due process of law demi melindungi setiap hak-hak dan penyempurna Kitab Undang-Undang yang didambakan para pencari keadilan (justitiabeln) dan bagi pejalan sunyi kebenaran.