RIRIN OKTAVIANA
(Mahasiswi FH UAD Angkatan 2022)
Konflik agraria bukanlah suatu yang baru dan sudah terjadi sejak zaman kolonial, penyebab dari keberlanjutan konflik agraria yang ditemukan oleh Komnas HAM adalah banyaknya mafia tanah yang tidak tersentuh hukum. Dalam praktiknya, hal tersebut tidaklah terlepas dari campur tangan oknum-oknum kepolisian. Yang di mana, konflik agraria menjadi salah satu penyebab dari menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pihak kepolisian, mayoritas masyarakat melaporkan pihak kepolisian dengan aduan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Di mana, oknum aparat kepolisian inilah yang akan menjadi aktor utama dalam judul ini, oknum aparat kepolisian banyak dijumpai dalam berbagai konflik agraria yang terjadi dari tahun ke tahun. Tentunya hal ini menjadi pembahasan yang menarik untuk terus dipertanyakan, mengapa, bagaimana dan tujuan apa yang membuat hal tersebut dapat menjadi krusial di dalam sistem keamanan masyarakat. Apakah tugas dan wewenang yang diberikan kepada aparat kepolisian membuat mereka lengah dan lalai terhadap tanggung jawab yang seharusnya mereka dedikasikan kepada masyarakat?
Karena dogma di atas tentunya tidak terbentuk begitu saja, dan bahkan sudah menjadi rahasia umum yang sangat meresahkan masyarakat. Jika kita teliti lebih dalam lagi, maka akan muncul banyak faktor yang menyebabkan mengapa masalah yang terjadi dalam konteks ini terus berlanjut hingga saat ini, dan akan sangat panjang serta membuka banyak kebenaran baru di dalamnya. Salah satu contoh dari kebenaran atau fakta yang disebutkan di atas adalah, bahwa aparat kepolisian lebih sering berhadap hadapan dan bertentangan dengan masyarakat. Artinya, jika kita melihat tugas serta tanggung jawab yang seharusnya mereka jalankan maka hal tersebut sangat bertentangan dengan tugas-tugas dan tanggung jawab yang ter implementasi dengan seharusnya, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat (Venya Kurnia Mulia Putri, 2022). Lalu, jika bukan untuk melindungi masyarakat? Lantas siapakah sebenarnya yang ingin mereka lindungi?
Polisi Paling Banyak Dilaporkan Langgar HAM Sepanjang Tahun 2021.
“ Dari data kami, pihak yang paling banyak diadukan adalah kepolisian yaitu sebanyak 661 aduan,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (Rizky Suryarandika, 2021).
Pada data tahun 2021, terdapat 2.721 pengaduan persoaalan dugaan pelanggaran HAM, mayoritas masyarakat melaporkan aparat kepolisian sebagai pihak terbanyak yang diduga melanggar HAM. laporan-laporan tersebut tentu saja bentuk dari kekecewaan, keresahan, ketidaknyamanan dan rasa terancam yang masyarakat rasakan, serta menghilangkan keberanian masyarakat untuk menuntut atas perampasan tanah dan situasi ketidakadilan agraria yang mereka alami (tercatat dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2020).
Contoh dari banyaknya data pelanggaran HAM yang dilakukan oknum kepolisian adalah tindak kriminalisasi. Beberapa contoh tindak kriminalisasi yang dilakukan oleh oknum kepolisian diantaranya ialah penangkapan, penganiayaan, dan penembakan. Hal tersebut merujuk kepada pemidanaan tidak sah yang berpotensi menjadi kriminalisasi yang berkelanjutan, dari tindakan-tindakan tidak sah itu tentunya akan menimbulkan lebih banyak kekecewaan dan rasa trauma kepada masyarakat. Namun, aparat kepolisian berdalih bahwa cara yang mereka lakukan hanya sebagai istilah untuk meredam konflik yang terjadi pada saat itu. Akan tetapi, pertanyaannya adalah mengapa hanya satu pihak saja yang mendapatkan perlakukan kekerasan seperti contoh-contoh di atas. Adanya penangkapan, penganiayaan, dan penembakan tersebut memperlihatkan dan menjadikan pihak kepolisian sebagai aktor utama dalam keberlanjutan konflik agraria hingga hari ini.
“Konflik agraria berlangsung terus menerus, meluas dan terjadi dimana-mana,” (Noer Fauzi Rachman, 2023).
Konflik sengketa pertanahan di Indonesia tidak hanya sekedar permasalahan agraria saja, karena sudah banyak kepentingan lain yang menyebabkan konflik ini tumbuh subur dan menjadi hal yang sangat kronis. Mafia tanah yang merupakan kejahatan pertanahan yang melibatkan sekelompok orang untuk menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah atau melanggar hukum yang menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Dalam situasi ini, upaya pencegahan, penanganan, dan penyelesaian konflik harus benar-benar memperhitungkan berbagai aspek hukum untuk menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga negara. Namun pada faktanya, kembali lagi pada praktik penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh oknum-oknum penegak hukum untuk melindungi mafia tanah dalam konflik agraria.
Di dalam praktiknya yaitu di mana oknum kepolisian mempergunakan ketidak pahaman hukum sebagai alat untuk menjerat masyarakat dengan menggunakan Undang-undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang di mana sekurang-kurangnya ada 40 kasus sepanjang tahun 2015-2020, dan 39 kasus menggunakan Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Dari berbagai catatan dan fakta yang terjadi, maka sudah sangat jelas bahwa oknum aparat kepolisian memanfaatkan ketidak pahaman hukum masyarakat sebagai senjata untuk kewenangan kepentingan pihak tertentu. Asas fiksi hukum dijadikan alat terampuh untuk memberikan ancaman kepada masyarakat untuk berhenti mempertahankan hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Lantas, Langkah Seperti Apa Untuk Penyelesaian Konflik Agraria? Terutama Dalam Permasalahan Campur Tangan Aparat Yang Berada Didalamnya?
Konflik agraria sendiri terjadi akibat dari ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber daya pertanian (ketimpangan dalam struktur pertanian). Konflik ini bersifat kronis, ekstensif, meluas dan memiliki dimensi hukum, sosial, politik dan ekonomi. Konflik agraria juga muncul ketika kekuasaan disalahgunakan dalam pemberian izin penggunaan lahan dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tanpa menghormati keragaman hukum dan hak-hak masyarakat, ditambah dengan kemunculan oknum-oknum aparat kepolisian yang kian menambah permasalahan dalam konflik agraria yang mengakibatkan banyaknya mafia tanah yang tidak tersentuh oleh hukum atau dalam kata lain melindungi kelompok-kelompok mafia tanah. Akhirnya, konflik agraria ini sampai kepada pelanggaran HAM yang melibatkan beberapa oknum dari instansi besar yang ada di Indonesia.
Restrukturisasi tenurial dan kepemilikan tanah berarti bahwa konflik atas SDA dapat diselesaikan. Pertanyaannya adalah, bagaimanakah cara penyelesaiannya? Hal ini dapat dilakukan dengan penataan hak milik dan penataan akses serta memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah, namun nampaknya berbagai program yang direncanakan hanyalah sebatas program yang masih belum menemukan titik temu yang jelas. Menyelesaikan konflik pertanian merupakan salah satu tujuan reformasi pertanian yang selalu didambakan oleh masyarakat. Melihat sinkronisasi dan koherensi berbagai peraturan perundang-undangan pertanahan dalam hubungannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang sumber daya alam khususnya di bidang pertanahan, tanpa disingkap hubungannya dengan Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, adalah batas atas hukum. Dari semua aturan hukum agraria, pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) yang bertugas menerima pengaduan kasus, menganalisis kasus, meninjau lapangan, mengadakan rapat koordinasi dan membuat rekomendasi solusi, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani konflik ini.
Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bagaimana kasus-kasus tersebut bertahan dan semakin menambah keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat dalam mempertahankan hak-haknya sebagai warga negara tentunya membutuhkan perlindungan dan jaminan keamanan yang memang seharusnya mereka dapatkan, bukan justru ancaman-ancaman dari aparat pelindung yang seharusnya menegakkan keadilan dan rasa aman kepada mereka.
Dalam kasus ini, poin terpenting yang harus digarisbawahi adalah bagaimana peran pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai pembela HAM dalam berbagai konflik agraria yang melibatkan masyarakat secara langsung. Karena masyarakat di sini, khususnya masyarakat adat selain memperjuangkan hak mereka sendiri tentunya mereka juga memperjuangkan wilayah dan kawasan hutan yang sangat penting untuk menyelamatkan lingkungan serta kehidupan makhluk hidup.
Menurut Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan yudikatif di Indonesia dijalankan oleh lembaga Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi, yang artinya bahwa Kepolisan Republik Indonesia masuk dalam ranah lembaga yudikatif dalam menegakkan hukum serta menjamin keamanaan dan rasa aman masyarakat seperti yang tertuang dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 30 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dari fakta yang terjadi di atas, dan Undang-undang yang mengatur, memperingatkan secara eksplisit bahwa penting dalam jangka pendek ini semua lembaga penegak hukum untuk segera memperbaiki segala prosedur dan standar dalam kekuasaan penegakan hukum di Indonesia, agar meminimalisir kesewenang-wenangan kekuasaan yang kerap dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Admin law.uad.ac.id tidak bertanggung jawab atas isi dan konten opini. Seluruh isi dan konten opini adalah tanggung jawab penulis.