Dr. Sobirin Malian, S,H., M.Hum.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan
Ada fenomena menarik akhir-akhir ini. Ketika terjadi kelangkaan minyak goreng kemudian disusul kelangkaan kacang kedelai dan harganya naik, muncul survei yang menyatakan kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Kejadian lain, ketika beredar video konflik antara aparat gabungan TNI dan Polisi dengan warga Desa Wadas, Kecamatan, Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Selasa 8 Februari 2022 viral di media sosial. Muncul bantahan dari Menkopolhukam, bahwa tidak ada konflik di Desa Wadas. Lalu ada lagi pers release oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta melaporkan aparat gabungan kepolisian dan TNI mendatangi Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, sejak Selasa (8/2/2022). Dalam video yang banyak beredar di media sosial, aparat dengan senjata lengkap mendatangi Desa Wadas. Beberapa warga ikut ditangkap aparat. Di lini masa pun ramai tagar #SaveWadas #WadasMelawan #WadasTolakTambang. Diketahui, para warga yang ditangkap adalah mereka yang bersikeras menolak lahannya dibebaskan untuk penambangan batu adesit. Luas tanah yang akan dibebaskan mencapai 124 hektar (Kompas.com, 9 Februari 2022).
Kejadian yang sekadar contoh di atas adalah fenomena dua kutub yang saling bertentangan yang muaranya kalau merujuk pada teori Bernard Taylor & Stephan Knight (1987), adalah bentuk “pembunuhan sempurna”, dimana di dalamnya polisi dan publik sama sekali tidak menyadari bahwa telah terjadi kejahatan. Momentum ini yang diistilahkan Yasraf Amir Piliang (2004) sebagai wujud realitas yang selalu menampakkan wujudnya dalam cara yang berbeda.
Realitas ibarat sebuah peta geografis yang dinamis, yang tampil dalam kekayaan kontur, permukaan, dataran, retakan, atau keping-keping; yang unsur-unsurnya selalu berganti, berubah, berpindah, atau bertransformasi. Di dalam dinamika perjalanan realitas itu, umat manusia kini sampai pada sebuah geografi realitas yang baru, yang didalamnya ditemukan berbagai bentuk keterputusan (discontinuity), keretakan (rupture) dan titik balik (revers); ekstrimitas, fatalitas, banalitas, dan promiskuitas; ketidakberaturan, ketidakpastian, dan keacakan (Yasraf Amir Piliang, 2004:4). Jadi apa yang kita saksikan adalah sebuah geografi realitas yang penuh keretakan, celah, reruntuhan, keping-keping, dan puing-puing; sebuah arsitektur realitas yang penuh instabilitas, kontradiksi, dan determinasi; sebuah teks realitas yang sarat dengan dekonstruksii, entropi, dan anomali.
Intinya di dalam geografi realitas semacam itu banyak ditemukan garis inkonsistensi, persimpangan, tumpeng tindih semacam topografi yang serba tidak beraturan. Di antara hal yang tidak beraturan itu muncul poskriminalitas, sebuah kondisi ketika kejahatan tampil dalam bentuk simulasinya, yaitu simulasi kejahatan (simulation of crime). Simulasi kejahatan adalah kejahatan, yang dengan sengaja diciptakan atau direkayasa oleh pihak tertentu, yang lewat teknologi pencitraan (imagology) dan teknik narasi (narrative), kejahatan tersebut dipresentasikan lewat media tertentu, sehingga realitas kejahatan dan kebenaran (truth) dibaliknya, seakan-akan seperti yang tampil di dalam media tersebut. Padahal, representasi tersebut adalah hasil dari manipulasi media semata yang mengemas kata-kata pejabat tapi diragukan oleh publik.
Poskriminalitas, dengan demikian, adalah kejahatan yang hidup dan berkembang pada tingkat citraan, yang tidak berkaitan lagi secara utuh (bahkan sepenuhnya) dengan realitas yang sesungguhnya. Akan tetapi, poskriminalitas tidak sepenuhnya fiksi (fiction). Ia mengandung di dalamnya fakta-fakta (facts): adalah fakta bahwa ada orang yang ditangkap, dipaksa tanda tangan, diintimidasi, dituduh makar, teroris. Akan tetapi, di dalam poskriminalitas fakta-fakta tersebut dikemas lewat citra-citra tertentu, sehingga tidak lagi mempresentasikan kebenaran yang sesungguhnya.
Kejahatan Negara dan Poskriminalitas
Ketika kejahatan bersatu dengan kekuasaan, maka ia menemukan tempat yang sempurna bagi persembunyiannya. Dengan bersembunyi dibalik sebuah kekuasaan, kejahatan dapat menyempurnakan dirinya. Ia dapat lebih leluasa bergerak dibalik topeng-topeng kekuasaan; ia lebih terlindung dari jangkauan hukum dibalik cadar-cadar kebangsaan, NKRI harga mati, demi rakyat dan lain-lain. Ia lebih aman menancapkan cengkeraman kekuasaannya dibalik jargon-jargon ekonomi, ia lebih leluasa melepaskan gejolak hasratnya dibalik tabir-tabir demi rakyat, nasionalisme dan seterusnya.
Ketika kejahatan menyembunyikan dirinya dibalik kekuasaan negara (state power), maka tapal batas di antara keduanya menjadi absurd dan melebur. Tidak ada lagi batas antara penguasa dan penjahat, oleh karena pencurian, korupsi itu dilakukan oleh aparat itu sendiri; tidak ada lagi batas antara negara dan koruptor, teroris, oleh karena teror-teror itu diciptakan oleh negara itu sendiri. Dalam kondisi persimpangsiuran demikian, sebuah kejahatan menggunakan institusinya sebagai tempat perlindungannya. Pada tingkat semiotik, institusi dan simbol-simbolnya digunakan sebagai tanda kamuflase untuk menyembunyikan tindak kejahatan (camouflage sign).
Demikianlah, penguasa menjarah harga negara sambil berlindung dibalik undang-undang atau kebijakan yang tak lain permainan oligarki. Para hakim bermafia kasus sambil berlindung dibalik toga kebesarannya; para polisi merampok hak milik rakyat atas nama perintah atasan pengamanan, sambil berlindung dibalik lencana kebesarannya. Menteri mengintimidasi rakyat dengan retorika dan jargon-jargon stabilitas nasional, pembangunan nasional. Singgasana, toga kebesaran, lencana adalah tanda-tanda kamuflase yang digunakan sebagai topeng-topeng kejahatan.
Ketika negara menjadi agen kekerasan dan kejahatan terhadap masyarakat, maka kejahatan akan menemukan tempat persembunyiannya yang sempurna. Kelangkaan minyak goreng, kegaduhan impor dan mahalnya kacang kedelai dijawab dengan survei…”kepuasan kinerja”. Sungguh negara dalam hal ini telah menjadi tempat persembunyiannya yang sempurna criminalis perfectur dan negara sekaligus telah menjadi sebuah mesin kejahatan (criminal machine) yang di dalamnya kejahatan (kekerasan, korupsi, penculikan, premanisme, bahkan pembunuhan) menjadi bagian struktural dalam pelanggengan kekuasaan.
Indikasi-indikasi kejahatan akhir-akhir makin tampak, dan hendaknya segera dicegah sebelum terlanjur makin parah seperti banyak sejarah kelam terjadi di Jerman atas Yahudi, Myanmar atas muslim, pembantaian di Tiananmen dan atas rakyat di belahan dunia lain.
Simulakrum Kekerasan
Salah satu metode penting dalam poskriminalitas adalah penciptaan simulacrum kekerasan (simulacrum of violence). Artinya, teror, kejahatan, kerusuhan, kebringasan itu dengan sengaja diciptakan oleh pihak tertentu (dan bisa jadi penguasa itu sendiri) berdasarkan skenario dan rekayasa tertentu oleh mesin-mesin simulacrum (the simulacrum machine). Tujuannya adalah untuk menciptakan image, bahwa seluruh kekerasan merupakan satu tindakan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Kejahatan diciptakan sedemikian rupa, sehingga selalu muncul image, bahwa hanya kelompok masyarakat tertentu yang dianggap berbuat kejahatan terhadap pihak penguasa, misal, kelompok ulama, ormas tertentu. Nilai demokrasi di sini menjadi nisbi, bahkan due procces of law tertutup oleh citra tadi. Yang unik, sebaliknya penguasa dilukiskan sebagai tidak pernah berbuat kekerasan, malah muncul ekspose, kepuasan kinerja bahkan muncul drama turgi seperti akan pindahnya ibu kota negara (IKN). Di sini digunakan paradigma paralogisme moral sebagaimana dikatakan Nietzche di dalam Genealogy of Moral: kelompok fundamentalis yang mendalangi kerusuhan, sedangkan kami antikerusuhan; kelompok teroris melakukan teros, intimidasi, sedangkan kami anti teror dan cinta kedamaian.
Dalam banyak kasus pemerintahan yang ingin melanggengkan kekuasaan the simulacrum of violence terus berjalan ditopang dengan mesin kekuasaan itu sendiri (tentara, polisi).
Penutup
Pada akhirnya harus disadari simulacrum kekerasan dan kejahatan yang diciptakan oleh negara atau kelompok politik lainnya, sering ditampilkan dalam apa yang dapat disebut kitch politik (political kitch), yaitu sebuah kecenderungan politik selera rendah, murahan; sebuah keranjang sampah politik yang tidak punya daya intelektualitas.
Kitch politic adalah sebuah kecenderungan politik yang kaya intensitas, tetapi miskin kreativitas; yang menggunakan tanda, simbol, dan citra-citra popular dan murahan dalam rangka menggiring pikiran dan persepsi masyarakat umum (yang tidak kritis) ke arah sebuah citra atau tema kekerasan, misal, bahaya fundamentalis, teroris.
Kalau kita merujuk kembali pada apa yang dikatakan Heidegger (1996), dikuasainya dunia global oleh poskriminalitas (berupa soft-criminality dan soft-terrorism), telah menciptakan sebuah ontologi dunia, yang di dalamnya perjalanan eksistensial manusia menjadi sebuah ada menuju kematian, yang di sepanjang lorong dan jalannya diisi dengan simulacrum kekerasan dan simulasi teror manusia atas manusia lainnya; homo criminals.